Pemerintah terus berupaya menekan peredaran ponsel ilegal di pasaran. Caranya, dengan mendeteksi ponsel melalui verifikasi IMEI. Saat ini, Kemperin sedang menggondok aturan mainnya.
Harapannya, beleid itu bisa terbit dalam waktu dekat. Sehingga, mulai 17 Agustus 2019 nanti, pemerintah bisa memblokir ponsel-ponsel ilegal alias black market (BM).
Apa tujuan pemerintah mengeluarkan aturan IMEI? Kebijakan ini efektif memberantas peredaran ponsel ilegal? Lalu, bagaimana teknis pelaksanaannya di lapangan kelak? Untuk lebih mengetahui rencana penerapan peraturan tersebut, wartawan Tabloid KONTAN Ragil Nugroho mewawancarai Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemperin Janu Suryanto, Kamis (11/7).
KONTAN : Apa sih, latar belakang kebijakan IMEI ?
JANU : Kebijkan ini sebagai tindak lanjut dari penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang sudah diterapkan sejak tiga tahun lalu.
Poin pertama, aturan ini jelas untuk melindungi para pemain lokal di bidang ponsel . kita tahu, ada beberapa pemain lokal seperti Advan yang jelas sangat dirugikan dengan maraknya ponsel ilegal yang masuk dari black market.
Kedua, sebagai upaya melindungi industri ponsel di dalam negeri, agar para pemain industri ini bisa bersaing secara normal dan sehat. Misalnya, pemain yang masuk dan menjual secara legal ponselnya akan mendapat kepastian berusaha. Tidak seperti sekarang, mereka harus bersaing juga dengan barang-barang ilegal.
Ketiga, ada upaya untuk menggenjot pendapatan negara karena yang ilegal, kan, tidak bayar pajak. Mereka lambat laun akan tersingkirkan.
Keempat, untuk memberikan jaminan keamanan produk bagi konsumen. Karena kalau sudah terdaftar resmi, maka tingkat keamanannya lebih baik.
KONTAN : Memang, seperti apa kondisi pasar ponsel black market di Indonesia ?
JANU : Yang jelas, jumlahnya sangat besar. Terakhir, hitungan kami ada 10 juta ponsel ilegal masuk tiap tahun ke Indonesia. Belum lama ini ada yang tertangkap di Palembang bawa sekitar 6.000 ponsel ilegal dengan nilai Rp 6 miliar.
Jadi, fenomena ini kalu tidak kita segera hentikan akan membahayakan industri ponsel dalam negeri. Dan, juga merugikan negara karena ada potensi pemasukan yang hilang. Bahkan, mengacu data Kementerian Keuangan (Kemkeu), kerugian dari keberadaan ponsel di pasar gelap mencapai Rp 2 triliun. Jika dirata-rata, penjualan ponsel ilegal sudah merugikan negara sebesar Rp 20 juta per hari.
KONTAN : Lalu, bagaimana teknis di lapangan ketika aturan ini berlaku kelak ?
JANU : Aturan ini, kan, melibatkan tiga kementerian. Kementerian Perindustrian menyiapkan database IMEI, manufaktur dan aturan pendukungnya. Lalu, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang nanti bekerjasama dengan operator ponsel untuk menentukan jika IMEI-nya tidak sesuai, maka jaringan ponsel tersebut akan diputus. Lalu, ada juga Kementerian Perdagangan (Kemdag) yang akan mengawasi peredaran ponsel black market di lapangan, termasuk yang dijual di toko-toko.
Jadi, bukan kami yang memblokir, ya, tapi Kementerian Keminfo. Kementerian Perindustrian Hanya menyiapkan infrastruktur dan data terkait IMEI. Nanti, database IMEI akan bisa diakses untuk mencocokan. Bisa juga kerjasama dengan operator langsung. Teknis masih kami siapkan.
Lalu, masyarakat jangan khawatir yang berlebihan juga, tidak akan ada dooms day atau kiamat. Ponsel yang IMEI-nya belum terdaftar sebelum tanggal 17 Agustus 2019 masih akan diputihkan alias masih bisa dipakai. Setelah itu, baru kami akan bertindak tegas.
KONTAN : Untuk menganalisis IMEI, Kemperin menggunakan software apa ?
JANU : Ini hasil hibah Cuma-Cuma dari Qualcomm. Namanya Sistem Informasi Registrasi Identifikasi Nasional (SIRINA). Sistem ini yang akan menganalisis IMEI mana saja yang terdaftar. Sejauh ini, SIRINA belum beroperasi. Sebab, pemerintah terus menguji open source tersebut akan agar dipastikan aman saat dipakai nanti. Kamudian tahun depan, rencananya Kominfo juga akan mengembangkan software tambahan buat membantu SIRINA.
KONTAN : Sejauh ini, sudah ada berapa IMEI yang terdaftar di Kemperin ?
JANU : Sejak 2012 hingga kini, sudah ada sekitar 1,6 miliar IMEI dan 750 juta ponsel yang teregistrasi. Data ini masih kami perbarui terus menerus.
KONTAN : Bagaimana dengan ponsel yang dibeli di luar negeri, apakah benar-benar tidak bisa dipakai juga ?
JANU : Masih digodok aturan detil terkait ponsel yang dibeli di luar negeri. Namun, terakhir Kominfo inginnya, ya, memang tidak bisa dipakai, biar orang pada beli di Indonesia.
KONTAN : Ponsel yang IMEI-nya tidak terdaftar akan diblokir sinyalnya oleh operator. Tapi, kan, masih bisa dapat sinyal dari Wi-Fi ?
JANU : Masih bisa dipakai jika dapat sinyal dari modem internet, misalnya, bahkan untuk menelpon via WhatsApp juga masih bisa. Ke depan, mungkin akan kami pikirkan lagi bagaimana bisa mencegah itu. Misi kami adalah, bagaimana bisa menutup ruang bahkan memberantas keberadaan ponsel black market di tanah air.
KONTAN : Ada kekhawatiran sejumlah pihak bahwa aturan IMEI sekaligus untuk menanyakan ponsel masyarakat. Memang benar begitu ?
JANU : Sistemnya berbeda kalau untuk menyadap. Penerapan IMEI untuk pencatatan saja. Memang, pada kasus tertentu, penyadapan bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang. Misalnya, bila pengguna ponsel melakukan tindakan pidana korupsi. Lagipula, kalau kita sebagai warga negara yang baik tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum, untuk apa takut disadap.
KONTAN : Lalu, bagaimana tanggapan pemain ponsel dalam negeri atas IMEI ?
JANU : Jelas, mereka mendukung dong. Kami sempat berdiskusi juga dengan Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), dan mereka menganggap aturan ini menyehatkan industri ponsel kita. Mereka juga dalam beberapa tahun terakhir aktif mengedukasi konsumen untuk tidak membeli ponsel ilegal hanya karena harganya yang lebih murah. Bahkan dalam beberapa kasus, APSI menemukan ponsel refurbished atau yang tidak sesuai standar kualitas dijual setengah dari harga produk aslinya.
KONTAN : Apa kendala dalam merumuskan dan melaksanakan aturan IMEI kelak ?
JANU : Kami sadar, industri ini sangat cepat sekali perkembangannya. Sehingga, berpikirnya pun harus jauh ke depan. Namun tetap saja, yang namanya aturan harus siap diubah untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Lalu, untuk penerapan di lapangan jelas tidak akan mudah. Makanya, kami bertahap mengeksekusinya, tidak bisa langsung. Ya, semoga saja lancar ke depan.
KONTAN : Anda optimistis, aturan ini bisa menghilangkan keberadaan ponsel black market di negara kita ?
JANU : Harus optimistis, memang butuh waktu. Negara seperti India dan Turki saja butuh minimal tiga tahun untuk memprosesnya, itu juga belum 100% berhasil. Di Indonesia pasti bisa, namun ya, tetap butuh kerjasama semua pihak dan di dukung regulasi yang kuat.
KONTAN : Apakah aturan ini bisa memancing minat investor asing ke Indonesia ?
JANU : Pastinya. Bayangkan, selama ini kebutuhan nasional akan ponsel sangat tinggi dan tumbuh terus dari tahun ke tahun. Kalau kita bisa menghentikan 10 juta ponsel ilegal yang masuk ke negara kita, maka angka tersebut harus diganti dengan produk ilegal.
Nah, dengan tambahan aturan TKDN, maka investor akan terpancing untuk berinvestasi membangun pabrik atau setidaknya bekerjasama dengan mitra lokal, seperti Xiaomi di Batam. Beberapa sudah menjajaki untuk membuka pabrik di Indonesia, baik pemain ponsel maupun elektronika lainnya. Para pemain lokal pun harapannya kian semangat untuk meningkatkan produksi mereka untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
KONTAN : Gambaran pertumbuhan investasi industri elektronika saat ini seperti apa ? Lalu, dampak dari IMEI juga bakal seperti apa ?
JANU : Sepanjang 2018 lalu, nilai investasi industri elektronika menyentuh angka Rp 12,86 triliun, naik dibanding 2017 sebesar Rp 7,81 triliun. Hingga akhir 2019, proyeksi kami bisa mencapai Rp 20 triliun.
Sementara nilai ekspor dari industri elektronika mampu menembus US$ 8,2 miliar, naik dibanding 2017 sebesar US$ 7,9 miliar. Tahun ini kami prediksi tembus US$ 10 miliar.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply