Mengais Semua Sumber Pendapatan

Meski berusaha tenang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir saat konferensi pers tentang APBN Edisi Juni 2019, akhir bulan lalu. Realisasi pendapatan negara dan hibah sampai akhir Mei lalu baru sebesar Rp 728,45 triliun.

Memang, angkanya tumbuh 5,7% dibanding periode sama pada 2018 lalu. Tapi, pencapaian itu baru 31,9% dari target pendapatan negara dan hibah dalam APBN 2019 yang mencapai Rp 2.165,1 triliun.

Alhasil, pemerintah harus kerja ekstra keras untuk mengamankan target tersebut. Boleh dibilang, segala cara pemerintah lakukan meski hasilnya enggak gede-gede amat.

Pemerintah menyiapkan tiga jurus baru. Pertama, memungut cukai atas kantong plastik. Kedua, mengerek tarif bea materai. Ketiga, mengenakan sanksi denda bagi eksportir yang tidak membawa pulang devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) ke tanah air.

Sebetulnya, rencana pemungutan cukai plastik sudah mengemuka sejak 2012. Bahkan, pemerintah beberapa kali memasukkannya dalam APBN. Termasuk, di APBN 2019 dengan target penerimaan cukai sebesar Rp 500 miliar.

Demi mendulang penerimaan tersebut, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengusulkan tarif cukai kantong plastik sebesar Rp 30.000 per kilogram. Artinya, setiap lembar kantong plastik terkena cukai Rp 200.

Rencananya, pengenaan cukai berlaku di tingkat produsen. Sehingga, pemungutan cukai bukan di level ritel. Ini guna memudahkan pengaturan. Kantong plastik yang bakal kena pungutan cukai adalah yang sekali pakai, dengan ketebalan di bawah 75 mikron.

Saat ini, menurut Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Dirktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kemkeu, pemerintah dan DPR masih membahas aturan main cukai plastik. Kemkeu juga meminta masukan dari instansi lain dan pelaku usaha.

Targetnya, payung hukum kelar akhir bulan ini. Meski begitu, Nirwala memperkirakan, penerapan cukai plastik baru berlangsung dua bulan setelah peraturannya terbit. “Jadi, bisa akhir tahun nanti kebijakan ini terlaksana, “ imbuhnya.

Pembahasan cukai plastik seolah berlarut, lantaran Ditjen Bea Cukai masih harus melakukan penelitian dan kaijan komprehensif, biar bisa mengakomodasi kebutuhan banyak pihak. Harapannya, jangan sampai kebijakan itu berumur pendek karena direvisi.

Ada potential loss

Yang terang, Ditjen Bea Cukai menghitung, ada potensi penerimaan negara minimal Rp 500 miliar per tahun dari cukai plastik. Tapi, angkanya bisa mencapai hngga Rp 750 miliar.

Untuk mendongkrak penerimaan dari bea materai, Kemkeu berencana menerapkan kebijakan satu tarif sekaligus menaikkan tarifnya jadi Rp 10.000 per lembar. Saat ini, ada dua jenis materai masing-masing memiliki tarif Rp 3.000 dan Rp 6.000 per lembar.

Demi memuluskan rencananya, Kemkeu mengusulkan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemkeu, mengatakan, instansinya sudah memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bea Materai ke DPR. “ Terkait prosesnya akan seperti apa, tunggu dari diskusi dengan DPR,” ucapnya.

Sri mulyani bilang, selama ini penerimaan negara dari bea materai relatif kecil. Pada periode 2000 hingga 2017, pemasukan dari bea materai hanya tumbuh 3,6 kali, yakni dari Rp 1,4 trilin di 2001 menjadi Rp 5,08 triliun pada 2017.

Selama ini peredaran materai tarif Rp 6.000 paling dominan. Kemkeu mencatat, volume peredaran materai selama 2017 mencapai 846.666.667 lembar. Dengan mengasumsikan volume peredaran materai yang sama pada 2019 dan dengan tarif baru Rp 10.000, pemerintah bisa meraup penerimaan negara sebesar Rp 8,46 triliun.

Selain mengubah tarif, Kemkeu ingin memperluas objek bea materai, tidak terbatas dokumen kertas melainkan juga dokumen digital. Maklum, masyarakat semakin akrab bertransaksi menggunakan jaringan internet dan dokumen digital. Oleh karena itu, dokumen digital menjadi objek baru penerapan bea materai.

Tapi, Kemkeu juga mengusulkan batasan nilai nominal dokumen yang wajib menggunakan materai. Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kemkeu, menjelaskan, batas nilai dokmen yang terkena bea materai naik menjadi Rp 5 juta.

Aturan yang berlaku saat ini, transaksi dengan nilai Rp 250.000 – Rp 1 juta wajib menggunakan materai Rp 3.000 per dokumen. Sedang transaksi di atas Rp 1 juta dan dokumen tertentu harus memakai materai Rp 6.000 per dokumen. “ Sehingga, ada potential loss penerimaan juga,” ujar Arif.

Soalnya, dengan kebijakan tersebut maka akan mengurangi dokumen-dokumen yang kena bea materai.” Perubahan UU juga untuk mengantsipasi perkembangan bentuk dokumen-dokumen elektronik di samping dokumen-dokumen dalam bentuk kertas,” imbuhnya.

Semua usalan Kemkeu tersebut tampaknya akan berjalan mulus. Sejauh ini, mayoritas anggota Komisi XI DPR yang membahas RUU Bea Materai setuju dengan usulan pemerintah dan akan melanjutkan pembahasan ke tingkat I.

Beda dengan cukai plastik dan bea materai, sanksi denda terhadap para eksportir yang tidak membawa pulang DHE  SDA ke tanah air sudah berlaku sejak 1 Juli lalu. Aturan mainnya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98/PMK.04/2019 yang juga terbit pada 1 Juli lalu.

Beleid ini memerintahkan eksportir wajib memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia. Jika tidak, ada sanksi denda sebesar 0,5% dari nilai devisa yang belum eksportir tempatkan ke dalam rekening khusus. Denda ini masuk ke kas negara sebagai pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Beban nasabah

Prinsipnya, Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) tidak keberatan dengan penerapan cukai plastik. Cuma, Fajar Budiono, Sekretaris Jenderal Inaplas, mempertanyakan tujuan utama dari pemerintah memungut cukai plastik.

Kalau hanya untuk penerimaan negara, hitungan Fajar, potensi kerugian industri pengolahan plastik bakal  lebih besar. “ Untuk apa dapat Rp 500 miliar namun kerugian industri pengolahan plastik malah bisa Rp 1,5 triliun,” tegasnya.

Apalagi, selama ini sudah kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik di beberapa daerah dan kantong plastik di sejumlah retail modern. Dan sebetulnya, itu semua termasuk cukai plastik bertentangan dengan kebijakan pengurangan dan pembebasan pajak penghasilan (tax allowance dan tax holiday). “ Kalau di hulu dikasih insentif, namun di hilir tidak, maka jadi susah bergerak, sama saja insentif di hulu tidak menarik,” tambah Fajar.

Sementara kalau tujuan pengenaan cukai plastik adalah untuk program ramah lingkungan, menurut Fajar, jadi malah aneh. Sebab, beberapa jenis plastik yang bakal kena cukai malah sudah dilarang di beberapa  negara Eropa. “ Di Indonesia kenapa malah dipertahankan?” tanya Fajar heran.

Nirwala membenarkan, belum ada satu pun keberatan dari produsen plastik. Memang, ada beberapa pengusaha yang menanyakan lebih detail rencana pungutan cukai plastik, tapi belum sampai menolak. Ditjen Bea Cukai masih duduk bareng untuk membicarakan masalah ini. Karena itu, “ Kami yakin akan bisa diterima oleh pengusaha,” ujarnya optimistis.

Begitu pula perbankan siap mematuhi ketentuan baru bea materai, sekalipun menambah beban operasional mereka. Maklum, bank banyak menggunakan materai. “Kan, setiap cek dan bilyet giro semua bermaterai,” kata Hariyono Tjahjarijad, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk.

Tak hanya itu, bank juga mengeluarkan bea materai untuk dokumen-dokumen pengikatan kredit serta tagihan kartu kredit. Hanya, Hariyono tidak bisa mengungkap nilai pengeluaran banknya untuk materai.

Ferdian Satyagraha, Direktur Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim) Tbk, menyebutkan, kenaikan tarif bea materai tidak terlalu terpengaruh.” Ke depan lebih fokus pada kredit online, verifikasi lewat digital signature,” sebutnya.

Tambah lagi, Bank Jatim menggunakan materai dengan nilai Rp 6.000 hanya untuk transaksi besar. Misalnya, kredit korporasi dan kredit usaha menengah dengan nilai di atas Rp 500 juta per transaksi. Dan, Bank Jatim membebankan bea materai kepada nasabah.

Senada, Budi Satria, Direktur PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk (BTN), menyampaikan, kenaikan bea materai tidak akan menambah beban operasional bank karena biaya ini dibebankan ke nasabah. Tapi, ia yakin, nasabah juga tidak terlalu terbebani lantaran kenaikannya tidak terlalu besar.

Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk, mengatakan,banknya selama ini juga membebankan biaya materai kepada nasabah. “Jadi, mungkin tidak terlalu berdampak kepada biaya bank secara langsung. Namun, peraturan detail materai kami masih palajari,” tambahnya.

Kerana beban tambahan ada di nasahah, Bob T. Ananta, Direktur Manajemen Risik PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk bilang, pihaknya akan menginformasikan terlebih dahulu soal kenaikan tarif materai sebelum transaksi. “ Dengan publikasi dan sosialisasi yang baik, saya kira nasabah bisa memahami regulasi materai yang baru itu, “ ucap dia.

Tidak signifikan

Sekalipun tidak ada keberatan dari pelaku usaha maupun masyarakat, Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), memandang, penerapan cukai plastik tidak signifikan dalam menaikkan penerimaan negara. Tapi, lebih berdampak signifikan ke palaku usaha. “Sebaiknya, lebih fokus ke pengendalian sampah plastiknya,” saran dia.

Sedang kenaikan bea materai jadi Rp 10.000, Bhima menilai, kebijakan itu tidak bijak, walau tarifnya sudah lama tidak naik. Kalaupun naik, pemerintah perlu mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi plus inflasi. Dari situ keluar angka ideal kenaikan hanya sekitar 8,8% menjadi Rp 6.500.” Jadi, enggak terlalu tinggi,” katanya.

Apalagi pelaku usaha mikro juga kena dampak dari kenaikan bea materai. “ Terlalu berat cost yang harus diemban pemerintah,” tambah Bhima.

Untuk menggenjot penerimaan negara, Bhima menyarankan, agar pemerintah lebih fokus menindaklanjuti data Program Pengampunan Pajak. Dengan begitu, pemerintah bisa mendorong tingkat kepatuhan. Alhasil, ada tambahan pemasukan dari pajak penghasilan (PPh), baik badan maupun pribadi.

Kemudian, pemerintah mesti mendorong ekstensifikasi atau perluasan objek pajak. Salah satunya, yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. “Khususnya, untuk kendaraan bermotor diatas 3000 cc kena kenaikan pajak atau tambahan. Di negara-negara lain sudah ada dan ini cukup signifikan untuk penerimaan, “ungkap Bhima.

Upaya lain adalah menegakkan aturan penanaman modal asing (PMA). Sebab, sampai sekarang masih banyak perusahaan asing yang menunggak pajak. “ Karena waktu itu dilaporkan cukup banyak dan totalnya dalam 10 tahun mencapai Rp 500 triliun. Mereka memang masuk kategori understatement atau tidak sesuai dengan laporan keuangan. Nah, ini yang harus dikejar, “ tegas Bhima.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only