KPI Kritik Keras Kemendikbud soal Belajar dari Rumah Bersama Netflix

JAKARTA – Polemik kerja sama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dengan layanan media streaming digital, Netflix, terus menuai kritik pedas dan kecaman berbagai kalangan. Kemendikbud menayangkan film dokumenter yang sudah tayang di Netflix. Sarana untuk memutar ulang adalah, TVRI yang merupakan televisi plat merah.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesian (KPI) Pusat, Hardly Stefano Pariela mempertanyakan alasan Kemendikbud yang menjalin kemitraan dengan Netflix.

“Perlu dipahami, bahwa Netflix bukanlah satu-satunya penyedia jasa VOD secara streaming digital, yang memungkinkan akses global. Industri hiburan Indonesia saat ini juga sudah membangun layanan VOD melalui internet. Jika tidak ingin dipandang sebagai endorser Netflix, ada baiknya Kemendikbud juga menjalin kemitraan dengan provider layanan VOD lainnya,” ujar Hardly dalam keterangannya, Selasa (23/6/2020).

Menurutnya, Kemendikbud juga harus memikirkan upaya mencegah dampak negatif dari konten hiburan melalui provider VOD global. Berbeda dengan penyebaran film melalui jaringan bioskop dan televisi terestrial yang harus mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), penetrasi film melalui layanan VOD secara streaming dapat dilakukan secara bebas dengan standar yang audio – visual berdasarkan standar dimana film itu dibuat atau standar dari provider VOD, yang bisa saja berbeda dengan standar yang berlaku di Indonesia.

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian terkait stanfdar tersebut kata dia adalah, sensitifitas terkait isu Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA), muatan kekerasan, dan batasan tampilan seksualitas. Terdapat beberapa film yang pernah dilarang beredar di Indonesia, antara lain: Teeth (2007) mengandung muatan kekerasan secara berlebihan; Noah (2014) dinilai kontraversial dari sudut pandang agama; dan Film Fifty Shades of Grey (2015) karena isu seksualitas.

“Selain STLS, film yang telah tayang di bisokop juga harus memenuhi Standar Program Siaran (SPS) ketika akan ditayangkan melalui stasiun televisi. STLS yang dikeluarkan oleh LSF maupun pemenuhan SPS yang diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada khalayak dari muatan negatif yang terdapat di film,” bebernya.

Tunggakan Pajak Netflix

KPI kata Hardly juga meminta Kemendikbud untuk duduk bersama dengan LSF dan pihaknya untuk merumuskan pengaturan dan pengawasan film yang dapat diakses melalui VOD streaming.

“Selain masalah konten, layanan VOD streaming juga memiliki permasalahan terkait penerimaan negara. Dengan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar, provider VOD yang belum berbadan hukum di Indonesia,” sambungnya.

Dia juga mempertanyakan Netflix yang melakukan kegiatan bisnis dan mendapatkan keuntungan dari Indonesia, dan selama ini diketahui mbelum pernah membayar pajak.

“Terkait permasalahan pajak ini, tanggal 5 Mei 2020 yang lalu Kemeterian Keuangan telah mengeluarkan peraturan no.48 tahun 2020 yang mengatur tentang pengenaan pajak pertambahan nilai bagi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Pelaku usaha PMSE baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia berkewajiban memberikan laporan tentang jumlah pembeli barang dan/atau penerima jasa di Indonesia, jumlah pembayaran, serta jumlah PPN yang dipungut maupun disetor.

“Peraturan ini diharapkan mulai berlaku mulai 1 Juli 2020, namun implementasi dan efektifitas penegakan peraturan ini masih memerlukan pembuktian, termasuk pengenaan sanksi apabila melanggar,” tegasnya.

Di saat belum ada pengaturan yang memadai tentang pengaturan konten serta pengenaan pajak bagi transaksi yang dilakukan oleh provider VOD streaming, publik dikejutkan dengan kebijakan Kemendikbud untuk menggandeng Netflix dalam penyediaan konten bagi program siaran Belajar Dari Rumah (BDR) yang disiarkan oleh TVRI.

Kritik disampaikan oleh berbagai pihak, karena Kemendikbud dinilai memberikan perlakuan khusus kepada Netflix dan mengabaikan fakta bahwa masih terdapat persoalan dalam hal pengaturan VOD yang dilakukan oleh pelaku yang tidak berbadan hukum Indonesia.

“Pelibatan Netflix dalam penyediaan konten BDR menimbulkan pertanyaan, karena sebagian besar konten Netflix adalah untuk hiburan, bukan secara khusus sebagai penyedia konten pendidikan,” jelasnya.

Meskipun dalam konten hiburan juga sangat mungkin mengandung muatan pendidikan, tetapi hal ini dapat dipandang sebagai strategi untuk memperluas pasar di Indonesia melalui penetrasi kepada siswa yang menonton program siaran BDR.

“Ketika menonton dan menyimak BDR, para siswa akan terpapar publikasi serta promosi Netflix, dan berpotensi menjadi pelanggan. Apalagi ketika para siswa atau bahkan orang tua yang menemani siswa dalam mononton BDR, berasosiasi bahwa keseluruhan konten Netflix adalah sebagaimana yang dilihat di TVRI,” ungkapnya.

Lebih lanjut dia menambahkan, penjelasan Kemendikbud bahwa konten siaran yang disiapkan Netflix untuk BDR adalah program dokumenter juga cukup mengherankan.

“Karena Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi maupun TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) telah memiliki pengalaman memproduksi program siaran dokumenter,” pungkasnya.

Sumber : okezone.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only