Wood Mackenzie menyebut iklim investasi migas Indonesia di bawah rata-rata global.
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan rata-rata realisasi lifting atau produksi minyak dari kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) besar di bawah target. Demi mengejar target produksi 1 juta barel per hari (bph) di tahun 2030, pemerintah kembali mewacanakan insentif fiskal bagi kontraktor migas.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, pihaknya tengah mempersiapkan proposal untuk memberikan keringanan fiskal. “Proposal ini akan kami bahas dalam rapat internal dengan Kementerian Keuangan, terkait masalah perpajakan, wilayah usaha yang harus diupayakan, karena ini juga merupakan masukan dari pelaku industri yang tergabung di Indonesian Petroleum Association (IPA),” ujar dia, Rabu (2/6).
Kementerian ESDM meyakini insentif fiskal dapat memacu kinerja kontraktor migas. “Mereka (IPA) juga umumnya mendukung target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari, tapi di lain sisi mereka memberikan masukan bahwa harus ada ketentuan fiskal yang bisa memberikan keringanan bagi mereka, ini yang sedang kami upayakan,” kata Arifin.
Presiden IPA Gary Selbie berujar, demi mencapai target sektor hulu migas, maka dibutuhkan dukungan semua pemangku kepentingan. “Kerja sama di antara seluruh pemangku kepentingan merupakan salah satu prioritas IPA pada tahun ini. Kementerian Keuangan merupakan salah satu stakeholder yang penting di industri hulu migas, selain Kementerian ESDM,” ungkap Gary dalam keterangan resmi yang diperoleh KONTAN, Kamis (3/6).
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menyatakan, usulan insentif fiskal kepada Kemenkeu masih sama dengan usulan yang sempat diajukan pada tahun lalu saat awal masa pandemi Covid-19. “Jenis insentif sama. Sebagian permohonan sudah diberikan namun masih ada yang belum. Oleh karena itu Kementerian ESDM dan SKK Migas sedang membahas dengan Kementerian Keuangan,” ungkap dia, kemarin.
Susana menjelaskan, status insentif yang telah disetujui masih sama dengan kali terakhir dimana tercatat ada tiga insentif yang belum disetujui, antara lain tax holiday untuk pajak penghasilan di semua wilayah kerja migas, penundaan atau pengurangan hingga 100% pajak tidak langsung. Kemudian, ada sejumlah insentif yang masuk usulan perbaikan fiskal, yakni penghapusan biaya sewa Barang Milik Negara (BMN) hulu migas, penghapusan biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sebesar US$ 0,22 per mmbtu.
Keekonomian
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, pemberian insentif fiskal untuk sektor hulu migas memang diperlukan demi menjaga keekonomian lapangan migas. Sejatinya, bentuk insentif untuk setiap lapangan migas berbeda-beda. “Jika tidak ada insentif, lapangan migas tertentu terutama yang sudah tua tidak akan ekonomis untuk diproduksi,” sebut dia, kemarin.
Komaidi menjelaskan, kebijakan terkait insentif fiskal bisa berdampak dua hal bagi pemerintah. Jika Kemenkeu memberikan insentif fiskal, maka penerimaan pajak dan PNBP dari migas bakal berkurang. Sebaliknya, jika tidak diberikan, bukan tidak mungkin tidak ada penerimaan pajak dan PNBP akibat kontraktor migas minim produksi.
Lembaga kajian energi Wood Mackenzie juga menyoroti minimnya investasi pada sektor hulu migas dan hal itu akan bertahan pada tahun ini. Head of Upstream Analyst Wood Mackenzie, Fraser McKay mengatakan, investasi hulu migas secara global akan stagnan di US$ 300 miliar pada 2021.
Data Wood Mackenzie menunjukkan iklim investasi migas Indonesia berada di bawah rata-rata global. Skala daya tarik fiskal hulu migas Indonesia hanya 2,4 (pada skala 0-5). Angka itu di bawah rata-rata dunia 3,3.
Adapun produksi rata-rata per hari migas nasional pada kuartal I 2021 tercatat 679.500 bopd minyak bumi dan 5.539 mmscfd gas bumi. Angka itu 97, 3% dari target produksi 2021 sebesar 705.000 bopd untuk minyak bumi dan 5.638 mmscfd untuk gas bumi.
Sumber: Harian Kontan, Jumat 04 Juni 2021 hal 12
Leave a Reply