Belanja negara 2022 sebesar Rp 2.631 triliun-Rp 2.775,3 triliun atau 14,69% – 15,29 % dari PDB
JAKARTA. Pemerintah nampaknya tengah berupaya menjaga momentum pemulihan ekonomi tahun depan. Hanya dengan kemampuan keuangan terbatas, pemerintah ingin belanja 2022 lebih selektif agar target penurunan defisit anggaran bisa sesuai target.
Pemerintah mematok target belanja negara 2022 sebesar Rp 2.631 triliun – Rp 2.775,3 triliun. Angka ini setara dengan 14,69% – 15,29% dari produk domestik bruto (PDB). Target batas bawah ini lebih rendah dari target belanja negara 2021 yakni sebesar Rp 2.750 triliun.
Mengutip dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022, kebijakan belanja K/L 2022 difokuskan untuk; Pertama, meningkatkan kualitas belanja agar lebih efiisien, efektif, produktif, dan bermanfaat bagi perekonomian dan kesejahteraan.
Kedua, mendukung pelaksanaan reformasi struktral di bidang pembangunan sumber daya manusia. Ketiga, menyelesaikan pembangunan infrastruktur strategis terkait pelayanan dasar. Keempat, mendukung reformasi birokrasi pelayanan publik.
Dari fokus anggaran ini, dialokasikan untuk pagu indikatif Kementrian Kesehatan sebesar Rp 96,04 triliun. Angka itu naik 13,93% dari target tahun ini sebesar Rp 84,30 triliun.
Sementara pagu indikatif Kementrian Sosial, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementrian Pertahanan, dan Kementrian Perhubungan, terpantau turun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, penurunan pagu indikatif belanja K/L tahun depan memang tak lepas dari upaya menjaga agar defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022 tidak melebar di atas 5% dari PDB.
Sayangnya, Bhima masih melihat bahwa penekanan anggaran ini masih belum cukup untuk menjaga defisit. Perlu dilakukan penurunan yang lebih besar.
“Namun, yang diturunkan untuk belanja yang sifatnya belum urgent, seperti belanja infrastruktur yang masih tahap perencanaan. Sebaiknya ditunda dulu,” ujar Bhima kepada KONTAN, Kamis (10/6).
Di sisi lain, untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi, Bhima juga meminta agar pemerintah melakukan refocusing. Khususnya, anggaran untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi, ada beberapa kebijakan ke depan yang cukup riskan kepada pelemahan daya beli.
“Seperti ada kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pencabutan subsidi listrik. Harus ada cadangan yang lebih untuk perlindungan sosial dan bantuan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM),” tambahnya.
Dalam hal ini, Bhima meminta agar belanja birokrasi seperti perjalanan dinas dalam negeri bisa dijaga tetap rendah dan mengoptimalkan rapat secara daring. Pemerintah juga perlu menunda pembukaan pendaftaran aparatur sipil negara (ASN).
Senada, Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy juga meminta pemerintah untuk melakukan refocusing dan relokasi anggaran ke beberapa K/L yang dianggap esensial. Misalnya, Kementrian Sosial, Kementrian Perindustrian, dan Kementrian Kesehatan.
Untuk Kementrian Sosial, Yusuf meminta agar pemerintah tetap mengoptimalkan program perlindungan sosial Covid-19 dan mempertimbangkan kebijakan subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat.
Sementara Kementrian Perindustrian, Yusuf memandang industri merupakan sektor yang perlu didorong untuk proses pemulihan ekonomi tahun depan. Salah satu program untuk mendorong proses industrialisasi adalah program nilai tambah dan daya saing industri.
Sedangkan Kementrian Kesehatan, sejalan dengan upaya penanggulangan Covid-19 masih akan berlanjut bahkan hingga tahun depan.
Sumber: Harian Kontan, Jumat 11 Juni 2021 hal 2
Leave a Reply