Berdampak Buruk pada Ekonomi, Rencana Pajak Bahan Pokok Terus Menuai Respon Negatif

JAKARTA – Berbagai respon negatif terus mengalir menanggapi rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap komoditas bahan pokok.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah menyatakan, bahan pokok yang dijadikan obyek pajak baru akan mengikis daya beli masyarakat. “Bagaimana tidak? Masyarakat begitu tergantung dengan komoditas itu setiap hari,” ujarnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira juga menilai pemberlakukan PPN ini berisiko akan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun serta meningkatkan angka kemiskinan.

“Perluasan objek PPN ke bahan pangan akan berisiko terjadinya kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok, mendorong inflasi, dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun, tapi juga naiknya angka kemiskinan,” terangnya.

Bhima menyatakan, ada sebanyak 73 persen kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan. Artinya, sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah.

Dikenakannya PPN ini, menurut dia, juga berisiko akan memicu munculnya barang ilegal. Sebagai perbandingan, kasus kenaikan cukai rokok pada 2020 yang mengakibatkan peredaran rokok ilegal naik.

Apalagi sembako, sulit mengendalikan pengawasan pajaknya. Belum lagi, data pangan masih bermasalah, terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan mulai dari beras, jagung sampai daging sapi.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun menilai wacana ini tidak manusiawi. YLKI menilai pengenaan PPN ke bahan pangan hanya akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi.

“Wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi.

Seperti diketahui, pemerintah berencana memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan pokok, yang tertuang dalam rancangan draf revisi kelima UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Komoditas bahan pokok yang bakal dikenakan PPN adalah seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Semula, barang-barang itu dikecualikan dalam PPN yang diatur dalam aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017. Sedangkan dalam draft RUU pasal 4A, sembako dihapus dalam kelompok barang yang tak dikenai PPN.

Selain sembako, RUU KUP juga menghapus beberapa barang hasil tambang maupun hasil pengeboran yang semula tak dikenai PPN. Namun, hasil tambang itu tak termasuk hasil tambang batubara.

Pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN, antara lain jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.

Tak ketinggalan jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos. (Kompas.com/Wahyuni Sahara/Fika Nurul Ulya)


Sumber : TribunJateng.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only