JAKARTA. Pemerintah ingin mengoptimalkan setoran pajak dari high wealth individual (HWI) alias orang super kaya. Sejumlah instrumen pun pemerintah siapkan buat menyasar wajib pajak ini.
Dalam draf perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), setidaknya ada dua instrumen pajak yang akan membidik HWI. Pertama, pajak penghasilan (PPh) terhadap pendapatan orang pribadi di atas Rp 5 miliar per tahun. Tarif yang dipatok mencapai 35%.
Dengan demikian, nantinya Indonesia memiliki lima layer penghasilan kena pajak, dengan tarif terendah 5% untuk penghasilan sampai Rp 50 juta per tahun dan tertinggi 35% untuk penghasilan lebih dari Rp 5 miliar setahun.
Kedua, mengerek tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% hingga memperluas objek kena pajak, baik barang maupun jasa. Misalnya, jasa pendidikan.
Dalam konteks HWI, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Publik Yustinus Prastowo menjelaskan, untuk sekolah mahal, maka akan terkena tarif PPN normal. Artinya, tarif PPN atas sekolah bagi para orang super kaya kemungkinan 12%.
Nah, di saat yang sama, selain menaikkan tarif PPN, pemerintah juga bakal menerapkan skema PPN multitarif, yakni hanya 5% untuk barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, tarif PPN sebesar 25% untuk barang dan jasa super mewah. Misalnya, jet pribadi atau kapal pesiar kena tarif PPN sebesar 25%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, rencana kebijakan itu telah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk ability to pay dan keadilan. Tapi, ia belum mau membeberkan potensi penerimaan pajak HWI dari instrumen itu.
Yang jelas, dia menegaskan, untuk menutup celah penghindaran pajak oleh HWI, Ditjen Pajak terus melakukan penguatan aturan dan sistem perpajakan, sumber daya manusia, serta sistem informasi dan teknologi melalui reformasi perpajakan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar setuju dengan rencana layer PPh tersebut. “Penambah jumlah bracket jadi sebuah keharusan, baik dari segi keadilan maupun optimalisasi. Kalau kita bicara timing, ini waktu yang tepat,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono, perluasan objek PPN di sektor pendidikan juga cukup adil. Sekolah internasional, misalnya, dengan biaya Rp 300 juta per semester dikenakan tarif normal sebesar 12%.
“Berarti kan hanya bertambah Rp 36 juta, karena orang yang menyekolahkan anaknya dengan biaya tersebut tentu orang kaya, super kaya. Jadi, sesuai dengan asas ability to pay,” sebut Prianto.
Sumber: Harian Kontan, Sabtu 12 Juni 2021
Leave a Reply