Polemik PPN

Polemik tentang rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan pokok atau biasa disebut sembako membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani kerepotan. Ia sampai harus blusukan ke Pasar Santa di Jakarta untuk bertemu langsung dengan pedagang sembako serta mengunggah momen itu ke media sosial. Lewat cara itu, Sri Mulyani ingin menegaskan, pemerintah tak akan ngawur dalam menerapkan rancangan yang tertuang dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) itu. Misalnya, bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat kebanyakan akan terkena PPN kecil, atau bahkan tetap bebas.

Tapi, tak apalah repot. Sebelum benar-benar berlaku, rencana perubahan skema pengenaan PPN yang merupakan bagian revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan memang harus menjadi diskusi banyak pihak. Maklum, beleid baru ini sudah pasti akan berdampak ke banyak orang. Nah, dengan menjadi polemik, meskipun melalui mekanisme kebocoran dokumen RUU, pemerintah dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperoleh masukan langsung dari masyarakat lebih awal; sebelum RUU itu menjadi topik bahasan di gedung DPR.

Buat yang belum paham, pemerintah bakal merevisi ketentuan umum perpajakan lantaran harus segera menyehatkan anggaran yang jebol diterjang pandemi. Intinya pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak untuk mengurangi defisit yang sempat menembus 6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah sudah bertekad mengembalikan defisit itu di bawah 3% pada 2023.

Dalam kondisi normal pun, revisi KUP yang juga mencakup rencana penambahan objek PPN, jelas bukan suatu kebijakan yang sederhana. Di era pemulihan ekonomi pasca Covid-19, kebijakan itu menjadi lebih rumit. Maklum, seperti pemerintah, masih banyak masyarakat dan dunia usaha yang sedang berjuang pulih setelah terpukul covid.

Mencermati fakta di atas, aspek timing dan keadilan harus menjadi pertimbangan utama pemerintah saat benar ingin benar-benar menerapkan reformasi perpajakan. Pertama, jangan sampai skema perpajakan baru justru menghambat pemulihan ekonomi. Kedua, jangan sampai perubahan ketentuan perpajakan menambah beban masyarakat yang tengah terpuruk atau memiliki kemampuan membayar (ability to pay) pajak rendah. Dengan kata lain, pemerintah mesti lebih memprioritaskan upaya pemungutan pajak tambahan bagi kelompok masyarakat kaya yang relatif tak terdampak pandemi.

Sumber: Harian Kontan, Rabu 16 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only