Pungutan PPN Hasil Tambang Bisa Sampai 12%

JAKARTA. Tak meulu soal komoditas pangan, jasa kesehatan, pemerintah juga akan berupaya memperluas objek pajak. Salah satunya dengan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi hasil pertambangan. Saat ini, pengenaan PPN hasil tambang baru dilakukan pada hasil tambang komoditas batubara 10%.

Rencana perluasan PPN hasil tambang tersebut tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Beleid ini sejatinya bakal dibahas tahun ini dan pemerintah berharap bisa berlaku tahun depan.

Dalam rancangan beleid itu, pemerintah menghapus hasil pertambangan sebagai objek non-barang kena pajak (BKP), sesuai pasal 4A ayat 3 butir g UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Jasa Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Adapun hasil pertambangan yang terkena PPN adalah:

  • Minyak mentah (crude oil);
  • Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
  • Panas bumi;
  • Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, hitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers eath), tanah diatiome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
  • Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
  • Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Selain memperluas cakupan hasil tambang, pemerintah juga mengusulkan bisa mengerek tarif PPN hasil tambang tersebut daari sebelumnya 10% menjadi 12%.

Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) Neilmaldrin Noor menyebut, tidak menutup kemungkinan barang hasil pertambangan lainnya akan menyusul batubara yang sudah lebih dahulu kena pajak atas konsumen. Namun pengenaan perluasan pajak bagi hasil tambang lainnya butuh waktu pembahasan dengan wakil rakyat.

Sayang, ia tidak merinci besaran tarif pasti PPN hasil tambang. “Terkait tarif, saya tidak bisa mendahului sebab masih ada pembahasan yang harus sama sama kami ikuti,” katanya, Senin (14/6).

Neilmadrin memaparkan perluasan pengenaan PPN hasil tambang tersebut karena cakupan PPN yang ada saat ini baru mencapai 60% dari potensi aktivitas ekonomi.

Adapun di negara yang tergabung Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata cakupan PPN-nya sudah mencapai 80% dari potensi aktivitas ekonominya.

Penyebabnya karena pemerintah terlalu banyak memberi fasilitas pengecualian PPN. Sementara aktivitas dan pertumbuhan ekonomi dewasa ini pemerintah nilai terus mengalami pemulihan.

Untuk itulah otoritas pajak mencoba untuk memperbaikinya dari sisi administrasi hingga regulasi. Supaya tujuan akhirnya yakni untuk mendongkrak penerimaan pajak bisa tercapai.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani khawatir rencana perluasan PPN hasil tambang bisa menjadi beban baru bagi perekonomian dalam negeri. Apalagi kalau kebijakan itu diterapkan dalam waktu dekat seperti tahun depan.

“Kami berharap pemerintah lebih fokus pada penguatan pengendalian pandemi di masyarakat serta mendistribusikan stimulus yang sudah dianggarkan,” ujar Shinta kepada KONTAN, Senin (14/6).

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Sapton menilai, tarif PPN sebesar 12% layak diterapkan untuk barang hasil pertambangan. Pengenaan PPN diharapkan bisa mengoptimalkan penerimaan pajak khususnya sektor pertambangan yang kini masih terkontraksi.

Misal penerimaan pajak tambang 2020 sebesar Rp 28,9 triliun atau minus 43,72% yoy. Namun, pajak bisa dilakukan jika ekonomi membaik.

Sumber: Harian Kontan, Selasa 15 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only