PPN Bakal Naik Jadi 12%, Perusahaan Rugi Juga Diincar

Pemerintah berencana mengubah tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Upaya pemerintah mengerek tarif PPN tersebut tertuang dalam draft RUU Perubahan Kelima Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draft tersebut, Pasal 7 Ayat 1 tertulis, tarif PPN adalah 12%.

“Tarif pajak pertambahan nilai adalah 12%,” demikian bunyi pasal 7 ayat 1 dikutip detikcom.

Dijelaskan pada Ayat 3, tarif PPN sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Perubahan tarif PPN tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Pada Ayat 2 dijelaskan tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.

Pasal 7A Ayat 1 menerangkan bahwa PPN dapat dikenakan dengan tarif berbeda dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat 1 atau Ayat 3, yakni atas:

a. penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu;
b. impor barang kena pajak tertentu; dan
c. pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Pasal 7A Ayat 2 menerangkan tarif berbeda sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 di atas dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%.

“Ketentuan mengenai jenis barang kena pajak tertentu, jasa kena pajak tertentu, barang kena pajak tidak berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, dan tarif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah,” demikian bunyi Ayat 3.

Pemerintah juga menggodok pajak untuk perusahaan merugi. Perusahaan yang mengalami kerugian bakal dikenakan pajak penghasilan (PPh) minimum. PPh minimum dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.

“Pajak Penghasilan minimum sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto,” bunyi aturan tersebut.

Perusahaan yang dimaksud di sini adalah wajib pajak badan yang pada suatu tahun pajak memiliki pajak penghasilan terutang tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto.

Penghasilan bruto merupakan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan, baik dari kegiatan usaha maupun dari luar kegiatan usaha pada suatu tahun pajak sebelum dikurangi biaya-biaya terkait, tidak termasuk penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan objek pajak.

Ketentuan mengenai batasan 1% dari penghasilan bruto dan besarnya tarif atau dasar pengenaan PPh minimum dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.

Wajib pajak badan dengan kriteria tertentu dikecualikan dari PPh minimum. Lalu, dalam hal terhadap wajib pajak badan dilakukan pemeriksaan, PPh minimum diperhitungkan dalam penetapan pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan.

Ketentuan mengenai tata cara penghitungan PPh minimum, wajib pajak badan dengan kriteria tertentu dan PPh minimum yang diperhitungkan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Terdapat contoh kasus yang disajikan dalam RUU KUP, yakni:

Pada tahun pajak 2022 PT AMT memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 500 juta dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp 20 juta.

Penghasilan Kena Pajak Rp 20juta
Pajak Penghasilan terutang:
20% x Rp20 juta = Rp 4 juta

Penghasilan bruto Rp 500 juta
Pembayaran Pajak Penghasilan minimum:
1% x Rp 500 juta = Rp 5 juta

“Oleh karena, Pajak Penghasilan terutang lebih kecil dari dari 1% atas penghasilan bruto, maka pada Tahun Pajak 2022 PT AMT dikenai Pajak Penghasilan minimum sebesar Rp 5 juta,” bunyi keterangan pada contoh di atas.

Sumber: finance.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only