Menyoal Rencana Kenaikan Tarif PPN

Pandemi Covid-19 selama dua tahun ini mengakibatkan perekonomian Indonesia terganggu. Secara agregat, ditandai kontraksi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 sebesar -5,32% (yoy), dan mengecil -0,74% (yoy) pada triwulan I-2021.

Kontraksi ekonomi yang terjadi pada 2020 hingga awal 2021 menyebabkan tingkat pengangguran terbuka naik menjadi 7,07% atau 9,77 juta orang Agustus 2020.

Di tengah usaha pemerintah dalam menekan penyebaran Covid-19 dan upaya pemulihan ekonomi nasional, masyarakat dikejutkan dengan rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Selain PPN, pemerintah akan mengubah tarif Pajak Penghasilan (PPh) dan mengusulkan kembali pengampunan pajak (tax amnesty).

Dari semua rencana perubahan kebijakan pajak, perubahan tariff PPN perlu dicermati lebih dalam. Sebab upaya pemulihan ekonomi di tengah pandemi yang sedang berjalan justru akan menghadapi tembok besar yang menghambat pemulihan ekonomi nasional.

Secara definisi, PPN merupakan tarif pajak yang dikenakan untuk setiap transaksi barang atau jasa. Jika kebijakan tersebut berlaku, dampaknya harga barang dan jasa secara umum akan ikut naik. Pada akhirnya konsumen yang akan menderita akibat kebijakan ini.

Pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%. Khusus barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, akan dikenakan 5% dari saat ini tidak dikenakan PPN alias 0%. Disisi lain, barang-barang mewah yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah atas seperti kendaraan bermotor, apartemen, kondominium, hingga town house bisa dikenai tarif maksimal 25%. Semua golongan masyarakat akan terkena imbas perubahan kebijakan PPN ini.

Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong konsumsi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 melalui berbagai instrumen bantuan seperti Bantuan Presiden untuk Usaha Mikro (BPUM), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, diskon listrik maupun yang lainnya, namun disisi lain mengeluarkan kebijakan yang akan menahan konsumsi masyarakat melalui peningkatan tarif PPN ini.

Kenaikan harga akibat tarif PPN yang meningkat justru menekan daya beli dan konsumsi masyarakat. Meski hanya naik 2 % di tingat konsumen atau hilir, namun karena penerapan PPN di Indonesia mengikuti sistem pertambahan nilai pada setiap rantai nilai produksi dan rantai distribusi yang panjang, setiap barang akan terkena PPN berkali-kali. Akibatnya, konsumen atau pembeli akan membeli dan membayar jauh lebih mahal dari ongkos produksi.

Selama ini perekonomian Indonesia sebagain besar ditopang oleh konsumsi masyarakat. Data Badan Pusat Statistik dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Dapat dilihat bahwa porsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020 sebesar 57,6%. Angka ini masih bisa meningkat jika melihat instrumen kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional seperti berbagai bantuan pemerintah. Jika pada 2022 tarif baru PPN diberlakukan, konsumsi masyarkat akan turun dan berpotensi menahan pemulihan ekonomi nasional.

Memang, celah fiskal saat ini semakin sempit dan rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB sedang dalam tren menurun. Pemerintah mengalami defisit fiskal pada tahun 2020 sebesar -6,90% terhadap PDB dan penerimaan perpajakan terkontraksi -19,7% secara tahunan (yoy) akibat krisis. Kontraksi penerimaan perpajakan secara tidak langsung membawa konsekuensi meningkatnya utang pemerintah untuk membiayai belanja negara dalam rangka memulihkan perekonomian nasional.

Alternatif menaikkan PPh

Untuk meningkatkan rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB, lebih baik pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dengan basis penambahan kekayaan bersih yang dimiliknya per tahun.

Memang pemerintah akan menggenjot setoran pajak dari masyarakat super kaya lewat penambahan satu lapis golongan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak paling tinggi. Tarif PPh Orang Pribadi (OP) ditingkatkan dari 30% menjadi 35% untuk orang berpenghasilan di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar per tahun.

Namun perlu dicatat tarif tersebut berbasis penghasilan tahunan bukan kekayaan. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, kelompok masyarakat kaya dapat membukukan penghasilan yang kecil di atas kertas, meski memiliki basis kekayaan besar.  Pemungutan PPh bagi kelompok kaya dengan basis kekayaan bukan penghasilan, akan lebih mengoperasionalisasikan prinsip equality dalam pemungutan pajak.

Prinsip equality telah lama dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations” tahun 1776. Smith mengatakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi harus adil dan merata sesuai dengna penghasilan yang mereka terima. Dalam kompleksitas keuangan saat ini, perhitungan penghasilan yang berbasis kekayaan merupakan hasil akhir yang lebih adil dari sekedar penghasilan bulanan maupun tahunan.

Begitu pula yang dikemukakan Hilarius Abut (2005) bahwa pajak memiliki fungsi sebagai distribusi pendapatan. Artinya pajak yang dipungut pemerintah akan digunakan untuk kepentingan umum, serta membiayai pembangunan nasional. Dengan demikian peningkatan pajak untuk masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi merupakan upaya dalam realisasi pemerataan.

Saat ini ada empat lapisan tarif pajak penghasilan orang pribadi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Pertama dan kedua menurut penulis tidak perlu diubah besaran tarif pajaknya. Perubahan tarif perlu dilakukan pada lapisan ketiga dan keempat.

Sebelumnya, pada lapisan ketiga dikenakan tarif pajak 25% dengan penghasilan kena pajak selama setahun ≥Rp 250 juta-Rp 500 juta tarifnya bisa diubah menjadi 35%. Lalu lapisan keempat yang sebelumnya dikenakan tarif pajak 30% untuk penghasilan kena pajak selama satu tahun ≥ Rp 500 juta dinaikkan tarif 40% atau dengan skema lain yang mengatur peningkatan perpajakan bagi masyarakat berpendapatan tertentu misalnya ≥Rp 2 miliar setahun.

Kebijakan lain yang perlu dipertimbangkan ialah menaikan tarif pajak deposito dan Surat Berharga Negara (SBN). Kenaikan tarif pajak itu bisa diterapkan untuk kepemilikan deposito dan SBN dengan nilai diatas Rp 2 miliar. Misalnya pemerintah dapat menaikkan masing-masing 5% untuk keduanya.

Perubahan kebijakan ini dilakukan bukan semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara dan perekonomian nasional, tetapi bentuk kerjasama antara kalangan the have dan the have not demi mewujud masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Melalui hal ini semangat gotong royong dapat digaungkan sebagai modal bangsa untuk menghadapi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional.

Sumber : Harian Kontan, Senin 14 Juni 2021 Halaman 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only