Menakar Rencana Penerapan Tarif Pajak Minimum terhadap Perusahaan Rugi

Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana menerapkan Alternative Minimum Tax (AMT) untuk Wajib Pajak (WP) badan yang yang merugi.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengusulkan penerapan AMT dengan tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak atas korporasi. 

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai kebijakan tersebut sudah tepat. AMT merupakan skema pengenaan PPh yang berfungsi untuk mengurangi insentif perencanaan pajak yang agresif. Serta bertujuan untuk meminimalkan beban PPh terutang.

“AMT diterapkan secara paralel dengan rezim PPh yang berlaku secara umum dan tidak bersifat menguji atau menelusuri secara detail transaksi-transaksi yang ditengarai memiliki risiko perencanaan pajak agresif,” kata dia kepada Liputan6.com, Senin (7/6/2021).

Dalam hal ini, AMT justru berperan dalam menjamin untuk setidaknya setiap korporasi membayar ‘suatu nilai pajak minimum’ kepada negara atau sebagai safeguard. 

“Dengan demikian, walaupun ada tax saving yang diperoleh dari perencanaan pajak yang agresif, AMT akan tetap menjamin adanya kontribusi minimum dari wajib pajak,” imbuhnya.

Sebagai contoh, Darussalam menjelaskan ketika wajib pajak mengalami kerugian fiskal secara bertahun-tahun akibat perencanaan pajak yang agresif, pemerintah tetap dapat memperoleh penerimaan dari wajib pajak tersebut.

“Dengan demikian, ada dua tujuan yakni mengurangi penghindaran pajak sekaligus mengoptimalkan negara. Skema ini juga sudah dipergunakan di berbagai negara,” kata dia.

Di sisi lain, Darussalam menggaris bawahi aspek selanjutnya yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Yaitu mengenai desain AMT agar  menyasar secara tepat dan efektif kepada wajib pajak yang memang memiliki risiko melakukan penghindaran pajak, khususnya di kala pandemi. 

“Jadi nantinya AMT tidak berlaku secara umum dan hanya dikenakan untuk wajib pajak tertentu saja,” ujar dia.

Direktur PT MNC Asset Management, Edwin Sebayang mengatakan, pemerintah harus membuat aturan dan kriteria perusahaan rugi yang dikenakan pajak tersebut. Hal ini agar penerapan tarif pajak tersebut tepat sasaran. Edwin menuturkan, ada juga perusahaan yang berpura-pura rugi sehingga tidak kena pajak.

“Pemerintah harus buat aturan SOP, kriteria rugi yang kena pajak bagaimana. Kalau perusahaan benar-benar rugi jangan diperlakukan (pajak-red). Namun, ada juga perusahaan yang berpura-pura rugi sehingga tidak kena pajak. Jadi perlu kriteria, detil seperti apa,” kata Edwin.

Sementara, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat menilai kebijakan tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan. Hal ini mengingat situasi pandemi yang telah memukul kinerja perusahaan hampir di sepanjang tahun lalu, dan masih berlanjut hingga kini.

“Pengenaan pajak minimum yang berasal dari penghasilan bruto menyebabkan kerugian yang lebih dalam. Mereka sedang berjuang untuk sustain akibat pandemi. Sebagian perusahaan mengalami penurunan pendapatan sementara biaya tetap yang harus mereka tanggung, tidak bisa dikurangi. Shingga krugiannua bisa semakin dalam ditambah pemotongan pajak minimum,” kata Samsul.

Samsul tengah menunggu bagaimana format kalkulasi dari kebijakan tersebut. Sebagai catatan, Samsul mengatakan pajak penghasilan bukanlah satu-satunya pendapatan yang diperoleh pemerintah dari perusahaan. Melainkan ada PPn dan kegiatan ekonomi lainnya di luar pajak penghasilan.

“Maka kalau kebijakan ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan hidup perusahaan, saya kira ini perlu dipikirkan dengan matang dan dikaji secara mendalam sebelum diimplementasikan,” kata Samsul.

Sumber: Liputan6.com, Senin 7 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only