Tax Amnesty Jilid Kedua, Apa Beda dengan yang Pertama?

Pada tax amnesty jilid kedua, pemerintah berencana membagi tarif berdasarkan dua kelompok, yakni untuk pengungkapan harta perolehan 1985-2015 dan harta perolehan 2016-2019.

Pemerintah berencana menggelar pengampunan pajak atau tax amnesty jilid kedua. Rencana ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan yang masuk dalam program legislasi nasional 2021 dan segera dibahas antara pemerintah dan DPR. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Pratowo mengatakan program peningkatan kepatuhan pajak yang akan dijalankan pemerintah nanti berbeda dengan amnesti pajak pada 2016. Pemerintah akan lebih menekankan pada upaya peningkatan kepatuhan secara sukarela. “Pemerintah menyadari, amnesti pajak tidak boleh tertalu sering diberikan. Kelonggaran atau fasilitas pajak yang diberikan diarahkan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak,” ujar Yustinus dalam Webinar Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional akhir pekan lalu. Menurut dia, program untuk meningkatkan kepatuhan pajak ini terutama ditujukan untuk pengusaha yang ingin patuh tetapi khawatir dengan sanksi. “Sedangkan yang coba-coba tidak boleh. Kami punya instrumen yang efektif dan banyak dengan penegakan hukum yang terukur,” katanya.

Berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diterima Katadata.co.id, program pengampunan pajak akan dibagi kedalam dua golongan. Pertama, pengakuan harta yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 yang kurang atau belum diungkapkan saat tax amnesty jilid 1. Kedua, pengakuan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019 yang kurang atau belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan pajak tahunan. “Wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud,” demikian tertulis dalam Pasal 37 B ayat 1 Draf RUU KUP. Harta bersih yang merupakan nilai harta dikurangin nilai utang dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Adapun tarif yang dikenakan untuk pengungkapan harta sebelum amnesti pajak pertama sebesar 15% atau 12,5% jika wajib pajak menyatakan akan menginvestasikan harta bersih ke instrumen surat berharga negara. Sementara untuk pengungkapan harta yang diperoleh tahun 2016 hingga 2019, dikenakan tarif 30% atau 20%  Tarif yang ditawarkan pemerintah dalam program ini lebih tinggi dibandingkan amnesti pajak pertama. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah mengatur tiga lapisan tarif tebusan berdasarkan periode pelaksanaan amnesti pajak jilid pertama.

Pada periode I yang berlangsung 1 Juli 2016 – 30 September 2016, tarif tebusan dipatok 2% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 4% untuk deklarasi luar negeri. Periode 2 1 Oktober 2016 – 31 Desember 2016, tarif tebusan dipatok 3% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 6% untuk deklarasi luar negeri. Sementara pada periode 3 yang dilaksanakan pada 1 Januari 2017 – 31 Maret 2017, tarif tebusan diparok 5% untuk repatriasi atau deklarasi dalam negeri dan 10% untuk deklarasi luar negeri. Repatriasi adalah menanamkan harta yang diungkapkan wajip pajak dalam pengampunan pajak ke dalam instrume investasi di dalam negerii.  Klasifikasi keringanan tarif pada amnesti pajak pertama dan kedua juga akan berbeda. Pada amnesti pajak pertama, tarif lebih murah diberikan kepada wajib pajak yang ingin menempatkan investasinya di luar negeri ke dalam negeri di berbagai instrumen. Pemenerintah juga hanya memberikan batasan penempatan instrumen selama tiga tahun.  Sedangkan pada amnesti pajak kedua atau pengungkapan aset sukarela, tarif lebih murah akan diberikan jika menempatkan harga yang diungkapkan pada SBN selama paling tidak lima tahun. 

Tax amnesty jilid I memang berhasil mencatat deklarasi aset 972.530 wajib pajak senilai Rp 4.719 triliun dari target Rp 4.000 triliun. Perinciannya, pelaporan harta dari dalam negeri sebesar Rp 3.687 triliun, sementara dari luar negeri Rp 1.032 triliun hingga 31 Maret 2017. Namun dari target Rp 1.000 triliun dana repatriasi atau pengembalian dari luar negeri, pemerintah hanya mampu menarik Rp 147 triliun.

Sumber: katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only