Kriteria Wajib Pungut Diperluas

JAKARTA – Otoritas fiskal memperluas kriteria pemungut dalam transaksi digital di luar perdagangan melalui system elektronik. Rencananya, seluruh penyedia sarana transaksi ditetapkan sebagai wajib pungut pajak dalam transaksi internasional.

Sejauh ini, Kementrian Keuangan hanya memiliki empat skema pemungutan pajak atas transaksi internasional, baik yang dilakukan secara dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).

Pertama pungutan Pajak Penghasilan (PPh) oleh badan-badan atau industry tertentu, saat pembelian oleh instansi pemerintah.

Kedua pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh pembeli tertentu seperti instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Ketiga pungutan PPN oleh pelaku usaha perdagangan melalui system elektronik (PMSE) yang dapat ditunjuk atas pemanfaatan barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean melalui PMSE.

Keempat pungutan bea masuk, cukai, dan/ atau pajak dalam rangka impor (PDRI) atas impor barang kiriman oleh Penyelenggara Pos.

Disisi lain, hingga saat ini pemerintah belum memiliki legalitas dan ketentuan khusus untuk menunjuk pihak lain sebagai pemotong atau pemungut pajak transaksi internasional.

Perluasan wajib pungut itu tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

“Menetapkan pihak lain [penyedia sarana transaksi] sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak atas transaksi yang melibatkan pihak lain tersebut melalui pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pihak lain sebagai pemungut dan/atau pemotong pajak,” tulis RUU KUP yang dikutip Bisnis, Rabu (16/6).

Dalam argumentasi RUU KUP yang diperoleh Bisnis, pemerintah beralasan kebijakan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan transaksi ekonomi dengan berbagai skema.

Misalnya suatu transaksi tidak hanya melibatkan penjual dan pembeli, juga dapat melibatkan pihak lainnya atau peyedia sarana transaksi.

Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan atau simplikasi kepada merchant atau penerima penghasilan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu juga untuk mengoptimalisasi penerimaan negara dari pajak.

“Juga untuk menciptakan perlakuan yang setara antara seluruh pelaku usaha dan memudahkan pembayaran pajak sesuai dengan konsep pay as you earn dan meningkatkan pengawasan kepada wajib pajak,” jelas pemerintah.

Dengan kata lain, melalui RUU KUP pemerintah mempertegas skema pungutan serta pihak yang menyandang tugas sebagai wajib pungut dalam setiap transaksi internasional, baik dari sisi PPh maupun PPN.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai, kebijakan ini dirumuskan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan di tengah suramnya prospek ekonomi dalam negeri.

Dengan kata lain, pemerintah berusaha untuk memaksimalkan pungutan dari transaksi internasional, termasuk di dalamnya transaksi dan ekonomi digital atau pajak atas transaksi elektronik.

Namun dia mengingatkan kepada pemerintah untuk menyediakan sistem yang memudahkan pihak penyedia sarana transaksi dalam menjalankan fungsi sebagai wajib pungut.

“Penerapan di lapangan nantinya juga harus memberikan kemudahan administrasi (ease of administration) bagi wajib pajak yang diberi tugas untuk menjadi wajib pungut,” kata dia.

ATURAN TEKNIS

Di sisi lain, Otoritas fiskal tengah menyiapkan aturan teknis dari UU No. 2/2020, terutama yang terkait dengan pungutan PPh perusahaan digital yang mendapatkan keuntungan di Indonesia kendati tidak memiliki kehadiran fisik.

Beleid ini disusun sejalan dengan disepakatinya tarif pajak minimum global sebesar 15% oleh negara-negara G7.

Sekadar informasi, melalui UU No. 2/2020 pada dasarnya pemerintah tetap mengedepankan pengenaan PPh melalui adanya perubahan threshold bentuk usaha tetap (BUT) untuk menjamin hak pemajakan.

Jika terkendala oleh Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), pemerintah akan menggunakan instrumen Pajak Transaksi Elektronik (PTE).

Terkait hal ini, Prianto mengatakan bahwa kesepakatan G7 secara langsung tidak berpengaruh ke Indonesia karena pemerintah masih menunggu hasil di Inclusive Framework yang masih negosiasi untuk mencapai kesepakatan pajak korporasi minimum global.

“Kalau kita merujuk UU No. 2/2020, pajak digital ini mirip dengan cukai. Jadi, harus diidentifikasi objek pajak secara jelas supaya ada legal certainty,” ujarnya.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan ada dua poin besar terkait dengan isu pajak dalam G7, yakni global minimum tax dan memberikan hak pemajakan ke negara pasar (market jurisdiction) melalui formulary apportionment.

Terkait dengan poin pertama, menurutnya, tidak ada kaitannya dengan perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia. Hal yang terkait dengan pajak digital adalah kesepakatan kedua.

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus menyusun aturan teknis yang menguntungkan negara.

Karena, lanjut Fajry, bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal yang menjadi urusan adalah hak pemajakan bagi pemerintah terhadap korporasi-korporasi digital yang tidak memiliki kehadiran fisik.

“Untuk posisi kita, detail teknis kebijakan dalam formulary apportionment haruslah menguntungkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Jangan sampai, negara yang diuntungkan malah negara-negara maju,” jelasnya.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only