Menimbang Ulang Agenda Kenaikan Tarif PPN

Wacana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai masih perlu dikaji lebih mendalam. Sejumlah kinerja ekonomi berpotensi terganggu manakala tarif PPN dinaikkan saat daya beli masyarakat masih tertekan.

Rencana perubahan tarif PPN mulai santer dibicarakan sejak rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati pada 24 Mei 2021. Dalam rapat tersebut turut dibahas mengenai perubahan sistem tarif PPN.

Hingga saat ini, pungutan PPN masih menerapkan tarif tunggal sebesar 10 persen. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Beleid itu merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.

Namun, pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana mengubah sistem tarif PPN menjadi multitarif. Dalam skema tersebut, akan ada dua jenis tarif. Tarif PPN yang lebih rendah akan diberlakukan untuk barang dan jasa tertentu.

Barang publik yang kini dikenakan tarif 10 persen, kemungkinan akan dikenai tarif 7 persen menurut skema penyesuaian. Sementara tarif PPN yang lebih tinggi akan diberlakukan untuk barang mewah. Sistem itu disebut-sebut sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat Indonesia.

Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, menuturkan, payung hukum penyesuaian tarif tersebut masih dalam rancangan. Kebijakan diperkirakan akan berlaku pada tahun 2022 atau 2023 (Kompas, 4/6/2021).

Penurunan penerimaan

Wacana tersebut merupakan salah satu bentuk kebijakan fiskal, lantaran penerimaan pajak kurang optimal di tengah pandemi Covid-19. Merujuk laporan Kemenkeu, realisasi penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2020 mengalami penurunan sebesar minus 15,86 persen (year-on-year).

Tahun 2019, realisasi pajak yang berkontribusi seperempat dari total penerimaan pajak tersebut adalah Rp 346,31 triliun. Namun, nilainya turun menjadi Rp 298,84 triliun pada tahun lalu.

Penurunan tersebut terjadi seiring berkurangnya aktivitas masyarakat yang berdampak pada turunnya konsumsi masyakat. Pasalnya, PPN merupakan pendapatan negara dari pajak yang bergantung pada konsumsi masyarakat.

Sebagai informasi, PPN merupakan jenis pajak tidak langsung. Pajak tersebut disetor oleh pihak lain, yakni pedagang, yang bukan penanggung pajak. Dengan kata lain, konsumen akhir sebagai penanggung pajak tidak menyetorkan langsung pajak yang ditanggung.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik, laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga mulai terkontraksi pada triwulan II-2020, yakni sebesar minus 5,52 persen (year-on-year). Kontraksi terdalam terjadi pada pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk transportasi dan komunikasi (minus 15,33 persen) serta restoran dan hotel (minus 16,53 persen).

Awalnya, penarikan PPN tidak ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pajak negara, tetapi sebagai pengganti pajak penjualan (PPn). Penggantian tersebut lantaran PPn memiliki sejumlah kelemahan, salah satunya adalah pajak berganda (double tax).

Menurut Kajian Ekonomi dan Keuangan yang disusun Kemenkeu (2011), penggantian tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN. Seiring berjalannya waktu, penerimaan negara dari PPN pun kian meningkat.

Hal ini tak lepas dari tingginya peran konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari separuh pada produk domestik bruto dari sisi pengeluaran. Maka, tak mengherankan jika pemerintah mengagendakan kenaikan tarif PPN demi menunjang penerimaan negara dari pajak konsumsi.

Dampak kenaikan

Meski demikian, wacana tersebut masih perlu dikaji ulang. Sejumlah pihak khawatir kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan lanjutan.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI, Rizal Edy Halim menilai, kenaikan PPN berpotensi semakin membebani daya beli masyarakat yang tengah tertekan. Pandemi Covid-19 membuat pendapatan sebagian besar masyarakat menurun.

Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang kehilangan pekerjaannya selama pandemi. BPS mencatat, pada Agustus 2020, terdapat 2,56 juta penganggur karena Covid-19. Totalnya, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Jika PPN dinaikkan, pemulihan konsumsi rumah tangga dikhawatirkan akan terganggu.

Di lain sisi, kenaikan PPN juga berpotensi menurunkan sejumlah indikator ekonomi makro. Menurut pemodelan menggunakan metode computable general equilibrium, peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan, dengan menaikkan tarif PPn dari 10 persen menjadi 12,5 persen, pertumbuhan ekonomi justru akan turun sebesar 0,11 persen. Kinerja ekspor dan impor juga akan turun sebesar 0,14 persen dan 7,02 persen.

Peneliti Indef lainnya, Enny Sri Hartati menambahkan kebijakan kenaikan PPN justru akan memberikan serangan balik yang menimbulkan sejumlah persoalan. Dua di antaranya adalah persaingan produk impor dan terhambatnya program reindustrialisasi.

Enny menyebutkan program reindustrialisasi akan terhambat lantaran industri substitusi impor, hilirisasi industri, dan industri padat karya semakin tertanggu. Hal tersebut juga akan membuat investasi di sektor terkait tidak efisien.

Banjirnya produk impor murah juga membuat produk dalam negeri kalah bersaing. Jika PPN dinaikkan, masyarakat akan menilai produk dalam negeri semakin mahal, yang berujung pada turunnya permintaan akan produk domestik.

Hasil industri domestik yang tidak terserap dan berlangsung terus-menerus juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran. Pasalnya, perolehan industri akan berkurang. Pengurangan tenaga kerja pun bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh para pengusaha demi keberlangsungan operasional perusahaan.

Kebocoran pajak

Di lain sisi, kebijakan menaikkan tarif PPN juga belum tentu efektif meningkatkan penerimaan pajak. Pasalnya, dengan ketentuan tarif sebelumnya pun penerimaan pajak belum 100 persen.

Merunut catatan penerimaan pajak yang disusun Kemenkeu, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target yang ditetapkan. Begitu pula dengan penerimaan PPN. Tahun 2020, misalnya, target penerimaan PPN dan PPnBM sebesar Rp 507,52 triliun, tapi realisasinya baru 88,35 persen dari target yang ditetapkan.

Jika PPN dinaikkan, pemulihan konsumsi rumah tangga dikhawatirkan akan terganggu.

Hal tersebut bukan hanya karena pandemi Covid-19 dan kebijakan pengecualian pajak yang membuat penerimaan pajak lebih kecil. Sebagai stimulus di tengah pandemi, Kemenkeu menghadirkan sejumlah insentif pajak, salah satunya pajak PPN. Total insentif yang ditetapkan sebesar Rp 5,8 triliun pada 2020.

Realisasi penerimaan yang masih jauh dari target juga dimungkinkan karena adanya kebocoran pajak. Dalam pelaksanaannya kebocoran pajak pada PPN pun pernah dan mungkin masih sering terjadi.

Mengutip pemberitaan Kompas 12 Mei 2014, ada selisih antara penerimaan PPN dan konsumsi rumah tangga pada 2013. Selisih itu terjadi karena potensi PPN yang tidak terjaring oleh sistem pajak. Fenomena tersebut juga dibarengi dengan maraknya faktur pajak fiktif.

Faktur pajak fiktif merupakan faktur pajak yang dibuat tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya. Faktur pajak fiktif juga bisa dibuat oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Boleh jadi praktik rekayasa ini dilakukan demi menimbun keuntungan sebagian pengusaha semata. Alih-alih pendapatan negara meningkat, justru konsumen yang akan semakin dirugikan. Jika hal tersebut berlarut-larut, bukan tidak mungkin kepercayaan konsumen pun akan menyusut.

Sumber : Kompas.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only