Reksa Dana Tersikut Dana Haji

Daya tarik reksa dana terproteksi mulai pudar seiring dengan besaran pajak yang kian tak kompetitif. Hal ini terlihat dari fenomena eksodus dana haji yang disimpan di reksa dana terproteksi ke instrumen sukuk ne-gara (obligasi syariah) bulan lalu.

Eksodus itu terlihat dari upaya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memin-dahkan semua dananya dari reksa dana terproteksi ke instrumen sukuk negara. 

Boyongan ini dinilai merupakan kon-sekuensi dari implementasi Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan aturan pelaksanaan dalam PMK No. 18/2021 yang memberikan relaksasi pajak penghasilan untuk BPKH.

Efeknya langsung terasa dengan dana kelolaan atau asset under management(AUM) manajer investasi yang turun signifikan selama Mei 2021. 

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per akhir Mei 2021, AUM reksa dana secara industri tercatat sebesar Rp536,28 triliun, susut 5,59% dari posisi akhir April.

Berdasarkan jenis, reksa dana terproteksi menyumbang penurunan terbesar yakni susut Rp39,87 triliun atau 28,79% dalam sebulan (month-to-month/m-t-m), menjadi Rp98,61 triliun dari sebelumnya Rp138,61 triliun.

Penurunan ini juga memperkecil porsi reksa dana terproteksi di industri yang semula 24,38% per akhir April menjadi hanya 18,39% per akhir Mei.

Isu lain yang menambah buruk citra in-vestasi kolektif ini adalah kasus gagal ba-yar surat utang jangka menengah (MTN) PT Tridomain Performance Material Tbk. yang berdampak ke reksa dana terprotek-si sebagai salah satu pemegang efek.

Sejumlah manajer investasi papan atas pun kehilangan triliunan dana kelolaan dalam sebulan. Penurunan paling besar dirasakan oleh PT Danareksa Investment Management dengan kelolaan berkurang Rp5,9 triliun atau minus 19% selama Mei menjadi Rp25,1 triliun. 

Sementara itu, kelolaan Bahana TCW Investment Management susut 10% menjadi Rp42,67 triliun pada bulan lalu. Manajer investasi top lain yang mencatatkan penurunan kelolaan di atas Rp3 trilun adalah Mandiri Manajemen Investasi dan Batavia Prosperindo Aset Manajemen. 

Sementara itu, BNI Asset Management dan Syailendra Capital mencatatkan penurunan Rp2,8 triliun dan Rp2,9 triliun.

Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif PT Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo membenarkan bahwa penurunan sebagian besar berasal dari reksa dana terproteksi syariah milik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Bahana TCW Investment Management menjadi salah satu dari 15 manajer investasi di Indonesia yang mendapat mandat pengelolaan dana haji melalui instrumen reksa dana.

Secara bisnis dampak keluarnya dana haji dari reksa dana terbilang kecil karena biaya pengelolaan atau management fee produk reksa dana terproteksi sangat murah dibandingkan dengan reksa dana lain.

Akan tetapi, dampak perpindahan dana dari instrumen investasi kolektif ini sangat terasa dari sisi besaran dana kelolaan manajer investasi, begitu pula secara dana kelolaan industri yang turun signifikan.

“Secara profit and loss, earning perusahaan kecil efeknya. Martabatnya yang jatuh, karena menyangkut besaran AUM yang dititipkan itu,” ucap Soni.

Perpindahan dana tersebut juga tercermin dalam data kepemilikan SBN rupiah dari DJPPR. Untuk periode 30 April 2021—31 Mei 2021 terdapat penurunan kepemilikan oleh reksa dana sebesar Rp33,08 triliun.

Sebaliknya, dalam periode yang sama kepemilikan kategori ‘lain-lain’ terpantau mengalami peningkatan dari sebelumnya Rp256,76 triliun menjadi Rp287,23 triliun, alias bertambah sekitar Rp30,47 triliun.

PAJAK KECIL

Menurut Head of Market Research Infovesta Utama, banyak institusi yang memilih untuk menaruh dana di reksa dana terproteksi karena dikenai pajak yang lebih kecil, hanya 10% dibandingkan dengan pajak obligasi 15%.

Alhasil, jika suatu institusi mendapat pengecualian pajak, akan jauh lebih menguntungkan bagi mereka untuk mengelola investasinya secara mandiri, seperti yang terjadi pada BPKH setelah mendapat relaksasi pajak.

“Kalau kasusnya begitu mending dipegang sendiri, seperti Dapen [Dana Pensiun]. Karena selama ini daya tarik terproteksi ini memang dari pajaknya yang lebih kecil,” ujar Wawan.

Rencana pemerintah untuk mendiskon PPh imbal hasil obligasi jadi 10% bakal kian memudarkan daya tarik reksa dana terproteksi.

Terpisah, Ketua Dewan Presidium Asosiasi Pelaku Reksa Dana & Investasi Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan industri reksa dana di dalam negeri masih perlu ruang untuk berkembang.

Menurutnya, secara jumlah investor dan AUM reksa dana terhadap PDB di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean sehingga masih diperlukan insentif.

“Selama 3 tahun terakhir pertumbuhan investor retail sangat besar. Saya rasa ini yang harus diapresiasi dan diberikan katalis lebihh lanjut, dalam rangka memperkuat basis investor domestik,” ujar Hari.

Dia menekankan, dalam investasi dalam efek bersifat utang melalui reksadana ada peran dari MI sehingga investor akan lebih terlindungi. Namun, sebagai konsekuensinya ada biaya-biaya mandatoryyang harus dibayarkan.

“Nah biaya-biaya itu yang perlu diperhitungkan dalam bentuk pembedaan tarif,” tuturnya.

Sumber: Ortax, Rabu 9 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only