Pemerintah Ikut Ngebor, Harga Listrik Panas Bumi Bisa Ditekan

Pemerintah melalui Badan Geologi segera melakukan pengeboran eksplorasi sumur panas bumi di dua wilayah kerja panas bumi (WKP), yakni di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, dan Nage di Nusa Tenggara Timur.

Harris, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan dua wilayah kerja panas bumi tersebut dijadwalkan mulai dilakukan tajak sumur pengeboran pada Juli 2021 mendatang.

Dia mengatakan, pengeboran panas bumi yang dilakukan pemerintah ini sebagai upaya untuk meminimalkan masalah keekonomian dan risiko panas bumi bagi para pengembang.

Dia mengakui saat ini harga listrik panas bumi masih mahal karena secara risiko besar, apalagi pengembang melakukan semua tahap dari eksplorasi hingga pemanfaatan menjadi pembangkit listrik. Risiko ini lah yang dimasukkan ke dalam komponen harga listrik sehingga menjadi mahal.

“Dengan government drilling setidaknya risiko di eksplorasi sudah di minimalisir karena kita tahu bahwa sebelum eksplorasi risiko masih 95%,” ungkapnya dalam Energy Corner “”Harta Karun Terbesar yang Diabaikan” CNBC Indonesia, Senin (14/06/2021).

Menurutnya, dengan ikut sertanya pemerintah dalam melakukan aktivitas pengeboran eksplorasi, maka 50% risiko akan turun. Pada akhirnya, imbuhnya, harga diperkirakan bisa turun sekitar 2,5 sen dolar per kilo Watt hour (kWh). Saat ini harga listrik panas bumi masih di kisaran belasan sen dolar per kWh.

“Dengan mitigasi-mitigasi lain ketika sudah dilakukan eksplorasi, ada feasibility study risiko turun jadi 50%, mungkin variasi turunnya setengah, bisa turun 2 sen atau 2,5 sen (dolar per kWh) kita harapkan dengan government drilling ini,” tuturnya.

Selain ikut berperan dalam melakukan pengeboran panas bumi, menurutnya pemerintah kini juga sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk di dalamnya terkait tarif listrik panas bumi.

Dia mengungkapkan, dalam Perpres ini juga akan diatur tentang kondisi khusus yakni bila harga yang ditetapkan dalam Perpres EBT ini lebih mahal dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PLN setempat, maka selisihnya akan dibayar pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Pemerintah juga berikan insentif khusus terkait dengan harga jika nantinya harga yang terbentuk Perpres ini lebih mahal dari BPP PLN setempat, maka gap akan dibayar oleh pemerintah dengan APBN,” paparnya.

Selain itu, pemerintah akan menjamin pengembang dapat memperoleh pendanaan murah dan disertai adanya jaminan pemerintah, sehingga diharapkan proyek panas bumi makin gencar dikembangkan.

“Untuk BUMN khususnya, pemerintah juga berikan suatu keistimewaan khusus karena bisa dapatkan pendanaan murah dan ada jaminan diberikan pemerintah sehingga diharapkan panas bumi bisa diakselerasi oleh BUMN maupun swasta nantinya,” tuturnya.

Tak hanya itu, lanjutnya, pemerintah juga menyediakan sejumlah insentif agar investor kembali bergairah berinvestasi di sektor panas bumi di Indonesia. Beberapa insentif itu antara lain pembebasan bea masuk produk tertentu, pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lainnya.

Seperti diketahui, Indonesia dianugerahi sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS), namun sayangnya pemanfaatannya belum juga optimal.

Dari sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 Mega Watt (MW), pemanfaatannya hingga 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only