Pajak Karbon dan Defisit Anggaran

Wacana pemberlakuan pajak karbon yang digunakan sebagai salah satu instrumen penambal deficit anggaran pemerintah telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pajak memang bisa diterapkan untuk mengurangi efek rumah kaca dari sektor yang menghasilkan karbon. Namun, pengenaan pajak karbon untuk menambal defisit anggaran secara filosofis sudah menunjukkan kekeliruan cara berpikir.

Dari sisi anggaran pemerintah, pada tahun 2022 defisit anggaran memang lebih rendah dari 2021, yaitu 4,51%-4,85% atau setara dengan Rp 807 triliun hingga Rp 881,3 triliun. Walaupun angka itu lebih rendah dari tahun 2021, pemerintah tetap berusaha menekan defisit tersebut dengan memperluas basis pajak, dimana salah satunya pengenaan pajak karbon. Jelas di sini, walaupun masih dalam perencanaan, salah satu fungsi pajak karbon yang ditekankan adalah untuk menambah pendapatan pajak pemerintah.

Di sisi lain, semestinya esensi utama penerapan pajak karbon adalah esensi Pigouvian tax. Penerapan pajak itu bertujuan menginternalisasi eksternalitas yang dihasilkan atas penggunaan sumber daya penghasil emisi karbon. Praktik umum penerapan pajak karbon memang terbukti beragam (antar negara), namun tujuan utamanya seharusnya tetap pada mitigasi emisi karbon.

Sebagai contoh, Swedia merupakan praktik baik dari penerapan pajak karbon. Swedia memulai penerapan pajak karbon sejak 1991, hal ini menjadikan Swedia merupakan salah sautu negara pertama yang menerapkan pajak karbon. Emisi karbon Swedia per tahun berkurang dari 59,7 juta ton pada 1991 menjadi 46,3 ton pada 2021. Pada periode yang sama, Swedia juga mengalami pertumbuhan ekonomi 213,7%.

Laporan IRENA (International Renewable Energy Agency) pada tahun 2019 menegaskan penerimaan pajak karbon di Swedia tidak serta merta untuk menutup pengeluaran umum pemerintah, tetapi secara khusus ditargetkan untuk menjaga hutan yang berfungsi melawan efek rumah kaca dari emisi karbon. Dnegan konservasi hutan yang didanai dari pajak karbon, Swedia dapat berpindah secara bertahap ke bioenergy yang dihasilkan dari hutan itu.

Keberhasilan, Swedia dan beberapa negara lain seperti Norwegia dan Finlandia mengurangi emisi karbon tak semata melalui penerapan pajak karbon, tetapi juga ETS (Emission Trading System/Cap-and-trade).

ETS dalam catatan negara-negara tersebut digunakan untuk mendorong terjadinya mekanisme pasar dalam jual-beli izin produksi karbon dari setiap industri. Izin produksi tersebut secara progresif diperkecil sehingga setiap industry dapat beroperasi secara efisien dalam hal emisi karbon.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Saya memandang Indonesia memang menungkinkan untuk menerapkan pajak karbon dalam waktu dekat, tetapi mekanisme penerapan itu harus dipikirkan dengan matang karena penerapan pajak karbon dalam jangka pendek berpotensi meningkatkan harga energi yang umum dikonsumsi sehari-hari seperti listrik. Hal ini pada waktunya bukan hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperdalam defisit anggaran.

Peningkatan harga listrik dapat terjadi karena hingga saat ini bauran energi Indonesia masih didominasi pembangkit batubara (62,7%) yang merupakan penyumbang karbon terbesar. Jika pajak karbon diterapkan , harga listrik akan meningkat karena pajak itu memungkinkan untuk dibebankan ke konsumen seutuhnya ataupun sebagian. Selain itu, harga batubara akan meningkat karena emisi karbon pada pertambangan batubara.

Agenda besar lain yang harus cepat diselesaikan adalah akselerasi pembangunan energi alternatif yaitu Energi Baru Terbarukan (EBT). Pembangunan pembangkit EBT memerlukan investasi yang tidak sedikit. Selain itu, kebijakan tarif EBT yang tak kunjung terbit sehingga menimbulkan ketidakpastian investasi dan berusaha di sektor EBT. Seperti kita tahu, krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 telah mengubah rencana jangka panjang bisnis dan investasi, sehingga tantangan tidak mudah menarik investasi EBT sementara listrik tenaga fosil masih over capacity.

Sebagai alternatif kebijakan, kita dapat menerapkan praktik baik Swedia dengan berbagai penyesuaian. Pajak karbon dapat disesuaikan menjadi kewajiban bagi industri penghasil karbon untuk melakukan konservasi hutan. Artinya, konservasi hutan digunakan sebagai mekanisme membersihkan karbon yang dihasilkan. Selanjutnya, mekanisme perdagangan karbon perlu difasilitasi dan diatur untuk memastikan mekanisme ini berjalan.

Mekanisme perdangangan karbon juga memastikan operasi sektor penghasil karbon, khususnya energi dari batubara, masih dapat tetap beroperasi tapi di tingkat emisi karbon yang terjaga karena ada mekanisme menetralkan karbon yang dihasilkannya. Di saat yang sama, pembangunan pembangkit listrik EBT dipercepat sebagai sumber energi alternatif masa depan

Sumber : Harian Kontan, Senin 21 Juni 2021 Halaman 12

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only