Angan Semu Penyehatan Fiskal

JAKARTA — Misi penyehatan fiskal bak angan senja. Musababnya, deru mesin ekonomi yang masih lirih terancam mogok akibat pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat berskala mikro. Di sisi lain, kucuran insentif yang deras kian menambah beban anggaran negara.

Mengacu pada UU No. 2/2020, pemerintah diwajibkan untuk mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023.

Artinya, 2021 dan 2022 menjadi warsa kunci bagi pemerintah untuk menyehatkan fiskal sehingga target normalisasi defisit bisa tercapai pada 2023.

Persoalannya, kondisi ekonomi yang diklaim mulai pulih terancam kembali sakit sejalan dengan pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro dalam dua pekan ke depan.

Dasar dari pengetatan aktivitas masyarakat itu adalah makin tak terkendalinya penyebaran Covid-19 di Tanah Air dalam beberapa pe-kan terakhir.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengakui bahwa hawar virus corona yang tak terkendali, ditambah dengan adanya varian baru, mempersuram prospek pemulihan ekonomi nasional pada tahun ini.

“Tentu ini [penyebaran virus] memengaruhi kondisi ekonomi, terutama kuartal II/2021. Covid-19 harus dikendalikan untuk menormalisasi kegiatan apapun,” kata Menkeu, Senin (21/6).

Beratnya upaya untuk menyehatkan fiskal tecermin dari data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 per Mei lalu, di mana defisit tercatat mencapai angka Rp219,3 triliun atau setara dengan 1,32% terhadap PDB.

Adapun sepanjang tahun ini, target defisit anggaran yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 5,7% terhadap PDB.

Sri Mulyani mengatakan, salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan ekonomi adalah dengan menggenjot belanja.

Kementerian Keuangan mencatat, per akhir bulan lalu anggaran belanja telah terealisasi Rp945,7 triliun atau 34,4% dari pagu yang mencapai Rp2.750 triliun.

Namun pada saat bersamaan, pemerintah mengguyur sejumlah insentif perpajakan kepada wajib pajak, terutama pelaku usaha.

Mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), hingga restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Di sisi lain, kinerja penerimaan pajak masih belum signifikan. Per Mei 2021, total penerimaan pajak tercatat Rp459,6 triliun. Jika dibandingkan secara year on year (yoy), capaian itu naik tipis yakni sebesar 3,4%.

Akan tetapi, kenaikan itu terancam tereduksi sejalan dengan pengetatan PPKM berskala mikro. Kebijakan ini berimplikasi pada berkurangnya frekuensi opera-sional bisnis dan terganggunya aktivitas konsumsi.

Pengajar Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Wahyu Widodo mengatakan, risiko recovery fiscal tersendat sangat besar, apalagi kemungkinan gelombang varian baru Covid-19 lebih serius dibandingkan dengan sebelumnya.

Selain itu, seretnya penerimaan pajak memaksa pemerintah lebih banyak menarik utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

“Ini tergantung keberanian pe-merintah mengambil langkah tegas saat ini, tetapi melihat tren Covid-19 dan saat ini sudah pertengahan tahun, angka di bawah 3% pada 2023 akan sulit,” kata dia.

KURANG TEGAS

Dia mengkritisi kebijakan pemerintah selama ini yang kurang tegas dalam menekan penyebaran Covid-19.

Menurutnya, pemerintah harus berkaca pada negara lain yakni dengan memberlakukan penguncian wilayah atau lockdown secara penuh.

Langkah ini memang akan memicu pembengkakan anggaran belanja dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, langkah ini lebih menguntungkan karena pemerintah bisa segera menyusun strategi untuk memulihkan fiskal setelah penyebaran Covid-19 teratasi.

“Pemerintah harus berani berkorban jangka pendek, untuk meredam Covid-19 baru kemudian recovery cepat, membentuk huruf V grafi knya. Pilihan ini lebih masuk akal daripada tarik-ulur yang terbukti sekarang kurang efektif,” ujarnya.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memprediksi, pada target optimistis tahun ini penerimaan pajak hanya tumbuh di kisaran 2,6%—3%.

“Tahun ini angka kisarannya tumbuh 2,6%—3%, dengan shortfall di kisaran Rp131 triliun dan realisasi sepanjang tahun 89,34%,” kata Fajry.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only