Alasan Masyarakat Harus Paham Lonjakan Utang Negara

Jakarta — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI khawatir pemerintah tak bisa membayar utang negara. Pasalnya, rasio utang terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen.

BPK menyebut angka itu jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang sebesar 92-176 persen dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 90-150 persen.

“Ini memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar,” tulis BPK dalam ringkasan eksekutif LHP LKPP 2020 dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (24/6).

Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari produk domestik bruto (PDB) per akhir Mei 2021.

Jumlahnya naik Rp1.159,58 triliun dari posisi Mei 2020 yang sebesar Rp5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB. Namun, jika dibandingkan dengan posisi April 2021 lalu, jumlahnya turun Rp109,14 triliun.

Sementara, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan Presiden Joko Widodo (Joko Widodo) berpotensi mewariskan utang hingga Rp10 kuadriliun pada akhir masa kepemimpinannya.

Data yang ia punya menunjukkan utang yang ditanggung pemerintah sudah mencapai Rp8.670 triliun. Itu terdiri dari utang untuk pembiayaan APBN sekitar Rp6.527 triliun per akhir April 2021 serta utang BUMN sekitar Rp2 ribuan triliun yang harus ditanggung pemerintah jika terjadi gagal bayar (default).

Lantas, seberapa penting pengaruh tumpukan utang ini ke masyarakat umum dan apakah masyarakat harus tahu mengenai kondisi utang negara?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan masyarakat harus tahu posisi utang pemerintah. Pasalnya, kenaikan utang akan berdampak pada beban pengeluaran masyarakat.

“Masyarakat harus tahu ketika utang naik ada potensi di kemudian hari pemerintah cari cara untuk mengurangi utangnya, rasio utangnya,” ucap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/6).

Salah satunya caranya dengan menarik pajak lebih tinggi. Artinya, tarif pajak berpotensi naik ketika utang negara semakin membengkak.

“Atau akan ada jenis pajak baru, mungkin barang atau jasa yang belum pernah dipajaki nanti dipajaki,” imbuh Yusuf.

Bila tarif pajak naik atau objek pajak bertambah, maka tingkat pengeluaran masyarakat ikut meningkat. Alhasil, beban masyarakat meningkat, sehingga cenderung mengurangi daya beli.

Namun, jika jumlah utang negara memiliki jatuh tempo cukup panjang, maka yang akan menanggung bebannya adalah generasi mendatang atau kelompok millennial. Situasi ini akan menimbulkan masalah baru.

“Ini akan jadi masalah jika ternyata kesejahteraan masyarakat, misalnya dari lapangan kerja tidak optimal. Sederhananya, mau bayar pajak tapi jenis pekerjaannya informal. Itu yang menjadi concern untuk generasi millennial,” jelas Yusuf.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan masyarakat yang akan menanggung beban utang pemerintah. Mereka akan dikejar lewat pajak.

“Salah satunya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12 persen, itu contohnya,” kata Tauhid.

Namun, masyarakat juga tak bisa menyalahkan pemerintah 100 persen. Tauhid mengingatkan bahwa pemerintah berutang demi mengurus negara ini, membangun infrastruktur dan menangani pandemi covid-19.

“Jadi bayar pajak sesuai kewajiban, kepatuhan pajak itu penting. Bagi yang terbebani dengan pajak, jangan lupa mereka menikmati jalanan bagus,” ucap Tauhid.

Ia menambahkan bahwa masyarakat harus terus memantau kenaikan utang negara. Jangan sampai, masyarakat Indonesia apatis dengan lonjakan utang pemerintah.

Sumber : CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only