Setoran pajak dari 7 sektor industri yang dapat insentif harga gas merosot

JAKARTA. Sejumlah pihak menilai, insentif penurunan harga gas bumi US$ 6 per MMBTU di tingkat konsumen industri sebaiknya memberi manfaat untuk semua pihak. Sebab itu, kebijakan tersebut perlu dievaluasi menyeluruh agar memberikan keseimbangan.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, untuk menurunkan harga gas bumi sebesar US$ 6 per MMBTU sampai tingkat konsumen, negara harus berkorban mengurangi pendapatannya dari sektor hulu migas. Ini pun berujung pada berkurangnya Dana Bagi Hasil (DBH) migas ke daerah.

“Mengenai berkurangnya DBH perlu sosialisasi dalam keputusan negara untuk membikin harga murah pada gas,” kata Satya, dalam IGS Webinar Series 6, Kamis (24/7/2021).

Menurut Satya, pelaksanaan kebijakan penurunan harga gas sebesar US$ 6 per MMBUTU perlu dievaluasi secara menyeluruh, baik dari sisi penerimaan negara dari sektor hulu migas, pendapatan negara dari pajak dan daya saing industri yang mendapat insentif harga gas US$ 6 per MMBTU.

“Niatan kita membuat industri kompetitif ini sudah luar biasa. mudah-mudahan ada balance apa yang sudah dikorbankan,” ujarnya.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko mengungkapkan, setoran pajak tujuh sektor industri yang mendapat penyesuaian harga gas pun merosot. Tercatat pada 2019 sebesar Rp 44,89 triliun, 2020 Rp 40,09 triliun dan kuartal I 2021 sebesar Rp 10,23 triliun.   

“Dampak penerimaan pajak kalau dibandingkan 2019 ke  2021 pajak kok tidak meningkat, tetapi dari 2019 turun,” ujarnya.

Arif menambahkan, ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. “Perlu kita ingat ini dalam kondisi tidak normal, 2020 tekanan harga minyak rendah,” lanjutnya.

Menurut Arif, Kebijakan penurunan harga gas penting untuk dievaluasi, dengan pertimbangan perekonomian dalam negeri.

SKK Migas pun telah melakukan evaluasi terhadap tambahan industri yang mendapat insentif harga gas US$ 6 per MMBTU, dengan memperhatikan kemapanan industri.

“Tentunya untuk melakukan ini pemerintah sudah membentuk tim evaluasi melalui kepmen 169 K 2020 dari hulu sampai hilir melakukan evaluasi penetapan harga gas bumi, pengkinian data calon pengguna gas bumi, terkait penerimaan negara yang mengkompensasi penurunan harga gas,” tandasnya.

Fridy Juwono Direktur Industri Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjelaskan PPh 25 dan 29 Badan mengalami penurunan yang sangat signifikan dibanding tahun 2019 dan 2018 karena selain terbatasnya kegiatan produksi dan distribusi barang, juga karena turunnya daya beli masyarakat. Selain itu juga adanya pengurangan PPh Badan sampai dengan 19% sesuai dengan PMK Nomor 23 jo. 44 tahun 2020. 

“Namun, PPh 21 dari tahun 2018 terus mengalami kenaikan. Pada 2019, PPh badan sejumlah Rp 3,3 triliun, sementara pada 2020 menjadi 3,4 triliun. Hal ini mengindikasikan industri yang memperoleh harga gas bumi tertentu secara agregat mampu meminimalkan PHK dan mempertahankan jumlah karyawan di masa pandemi,” ujarnya. 

Di sisi lain PPh 22 juga mengalami kenaikan yang mengindikasikan, peningkatan ekspor walau tidak terlalu signifikan. “Halli ni mengindikasikan daya saing produk-produk yang memperoleh HGBT naik di pasaran,” kata Fridy. 

Sumber: industri.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only