Sarat Fasilitas, Abai Prioritas

Bisnis, JAKARTA — Kucuran insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 Tahun Anggaran 2020 diketahui mengabaikan skala prioritas. Hal itu tecermin dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan efektivitas insentif perpajakan. 

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 mencatat, total kesalah-an dalam penyaluran insentif dan fasilitas perpajakan dalam penanganan Covid-19 mencapai Rp1,69 triliun.

Secara terperinci, masalah yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) antara lain insentif kepada wajib pajak yang tidak berhak dan lemahnya proses verifikasi yang mengakibatkan kelebihan pencatatan penerimaan pajak.

Selain itu juga adanya wajib pajak yang menerima insentif ganda, hingga ketidakakuratan fasilitas pembebasan bea masuk karena menggunakan kode harmonized system (HS) yang tidak sesuai.

“Terdapat pemberian insentif dan fasilitas perpajakan minimal sebesar Rp251,59 miliar kepada wajib pajak yang tidak berhak atau untuk masa pajak yang tidak seharusnya diberikan, serta nilai insentif tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp103,70 miliar,” 

tulis laporan BPK yang dikutip Bisnis, Rabu (23/6).

Lembaga auditor eksternal itu juga mencatat adanya kelemahan proses verifi kasi Direktorat Jenderal Pajak yang mengakibatkan kelebihan pencatatan penerimaan pajak dalam laporan keuangan sebesar Rp14,72 miliar, dan nilai penerimaan sebesar Rp113,98 miliar tidak dapat diyakini kwajarannya.

Praktik kesalahan terjadi pada sejumlah jenis pajak, yakni Pajak Penghasilan (PPh) meliputi PPh 21, PPh 25, dan PPh Final. Selain itu juga adanya persoalan dalam pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta fasilitas restitusi.

Di Ditjen Bea Cukai, temuan BPK mencakup fasilitas pembebasan bea masuk untuk kebutuh-an penanganan Covid-19 senilai Rp75,19 miliar yang berpotensi tidak akurat.

Hal ini disebabkan karena kesalahan penggunaan kode HS yang tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan Atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19 dan aturan perubahannya.

Terkait dengan hal ini, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat mengatakan mengacu pada PMK 34/PMK.04/2020, fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan diberikan kepada jenis barang yang tercantum dalam Lampiran A.

Dia berargumen, berdasarkan penelitian dokumen oleh petugas Ditjen Bea Cukai diketahui bahwa uraian jenis barang yang diberitahukan telah sesuai dengan ketentuan, sehingga layak mendapatkan fasilitas kepabeanan sesuai ketentuan yang berlaku.

Akan tetapi, kata Syarif, kemungkinan terdapat kesalahan dalam pencantuman kode HS pada dokumen pemberitahuan impor barang yang diberitahukan secara self assesment oleh importir.

“Terdapat kemungkinan bahwa importir salah memberitahukan kode HS, sehingga nilai fasilitas pembebasan bea masuk berpo-tensi tidak akurat,” katanya saat dihubungi Bisnis.

Dia menambahkan, Ditjen Bea Cukai telah mengidentifi kasi persoalan tersebut dan sedang diteliti lebih dalam. 

Selanjutnya, akan dilakukan koreksi terhadap nilai fasilitas pembebasan bea masuk jika terdapat perubahan kode HS yang mengakibatkan perubahan tarif.

Syarif menegaskan, sejauh ini proses penelitian lebih lanjut tidak menemukan kendala, dan tidak mengakibatkan adanya potensi hilangnya pungutan negara.

“Namun hanya mengakibatkan koreksi atas nilai fasilitas pembebasan bea masuk yang diberitahukan dalam laporan keuangan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan instansinya berkomitmen untuk melakukan pembenahan dalam rangka merespons temuan BPK itu.

Di antaranya dengan menyediakan aplikasi management dashboard e-reporting yang digunakan dalam menatausahakan dan melakukan monitoring insentif.

“Juga menguatkan pengawasan terhadap wajib pajak yang memanfaatkan insentif melalui kegiatan penelitian atas pemenuhan kewajiban perpajakan,” ujar Neilmaldrin.

Menurutnya, apabila hasil penelitian menemukan adanya pemanfaatan insentif oleh wajib pajak yang tidak berhak maka akan dilakukan tindakan pengawasan.

Tak hanya itu, Ditjen Pajak juga terus melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan pengawasan wajib pajak yang memanfaatkan insentif tersebut.

Sumber: ortax.org, Kamis 24 Juni 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only