Sri Mulyani bakal cabut insentif PPh final UKM dengan omzet kurang dari Rp 50 miliar

JAKARTA. Bagi anda para pebisnis dengan omzet kurang dari Rp 50 miliar per tahun harap bersiap. Pasalnya, pemerintah akan mencabut insentif pajak penghasilan (PPh) Final yang telah diberikan. 

“Kita juga mengusulkan penyesuaian insentif untuk wajib pajak usaha kecil menengah (UKM) dengan omzet di bawah Rp 50 miliar,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6).

Lebih lanjut, ketentuan mengenai insentif UKM tertuang dalam Pasal 31E Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Klausul tersebut memberikan insentif kepada wajib pajak (WP) badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar setahun berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal.

Dengan demikian, dengan ketentuan saat ini tarif PPh Badan sebesar 22%, maka para UMK dengan penghasilan di bawah Rp 50 miliar hanya dibandrol PPh Final sebesar 11%. Kemudian di tahun 2022, saat PPh Badan kembali turun menjadi 20%, maka UMK hanya bayar pajak penghasilan 10%.

Namun, kebijakan tersebut akan lenyap apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disahkan. “Pasal 31E dihapus,” tulis beleid tersebut.

RUU tersebut kini tengah dibahas oleh pemerintah bersama dengan DPR. Harapannya bisa segera diundangkan, sehingga bisa diimplementasikan secepatnya untuk menjalankan segala reformasi perpajakan yang terkandung.

Dalam Naskah Akademik RUU KUP yang dihimpun Kontan.co.id, rencana kebijakan tersebut dilatarbekangi karena belanja perpajakan UKM tidak mencerminkan keadilan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) rata-rata jumlah belanja perpajakan atas insentif Pasal 31E Undang-Undang PPh pada tahun 2017 sampai dengan 2019 mencapai Rp 2,82 triliun. 

Dalam perkembangannya, penerapan fasilitas Pasal 31E menimbulkan perbedaan perlakuan, baik atas pengenaan tarif PPh badan normal, maupun PPh Final UMKM sebesar 0,5% dari peredaran bruto kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.

“Dengan demikian, penerapan Pasal 31E UU PPh tidak mencerminkan kesetaraan dan tidak tepat sasaran. Untuk dapat memberikan kesetaraan perlakuan atas tarif PPh atas seluruh Wajib Pajak badan, maka fasilitas pengurangan tarif Pasal 31E UU PPh diusulkan untuk dihapus,” jelas pemerintah dalam Naskah Akademik RUU KUP. 

Pemerintah juga menegaskan, selain dapat memberikan kesetaraan perlakuan atas tarif PPh, dengan dihapusnya fasilitas pengurangan tarif Pasal 31E UU PPh, diharapkan akan memperluas basis perpajakan yang berasal dari PPh yang dibayar oleh Wajib Pajak badan. Sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak secara jangka panjang. 

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan cara tersebut akan efektif sebagai salah satu cara memangkas belanja perpajakan yang masif. Fajry menilai, dalam konteks rumpun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), insentif Pasal 31E sudah tidak tepat. Sebab, secara omzet lebih mirip dengan wajib pajak badan dibandingkan UMKM.

Sebagai informasi, dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kriteria omzet UMKM diatur dalam tiga jenis. Pertama, usaha mikro omzet paling banyak Rp 300 juta per tahun. Kedua, usaha kecil yakni omzet lebih dari Rp 300 juta sampai dengan paling banyak Rp 2,5 miliar. Ketiga, usaha menengah yakni mempunyai omzet Rp 2,8 miliar-Rp 50 miliar.

Sumber: nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only