Implementasi Energi Terbarukan, Industri Kimia Minta Insentif | Ekonomi

JAKARTA — Pelaku industri menilai perlu adanya regulasi yang jelas dalam implementasi energi hijau pada pabrikan guna menekan tingkat emisi karbon saat ini.

Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) Michael Susanto Pardi mengatakan sejauh ini sejumlah pabrik kimia dasar anorganik sudah ada yang mengimplementasikan hal tersebut. Meski belum menyeluruh untuk sampai penggunaan pengoperasian mesin.

“Kebanyakan sekarang digunakan untuk penerangan karena butuh tenaga besar dan juga regulasi kontrol panel yang belum jelas khususnya dari PLN terkait skema pengembalian dari kelebihan daya yang tidak digunakan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (29/6/2021).

Michael menyebut sebaiknya PLN mulai memberikan sosialisasi khusus terkait hal tersebut. Pasalnya, jika industri tidak bisa melakukan jual balik dari daya yang tidak digunakan maka hitungan investasi IRR atau internal rate of returnnya belum tentu tercapai.

Menurut Michael, dengan kondisi tersebut yang terjadi saat ini pabrikan harus menambah biaya ekstra. Belum lagi, implementasi energi terbarukan di Indonesia juga belum memiliki insentif yang menarik.

“Di negara lain sudah ada yang memberi insentif. Jadi, ketika bicara investasi besar nantinya tidak akan menjadi masalah ketika tercapai IRR dengan insentif tersebut,” ujarnya.

Michael mengharapkan insentif dapat berupa pembelian kembali daya yang tidak terpakai oleh PLN atau pemotongan tarif listrik. Selain itu, tentunya juga insentif pemotongan pajak dari investasi yang sudah dikeluarkan.

Pada prinsipnya, Michael sepakat dengan penerapan teknologi hijau di pabrikan saat ini. Hal itu tentunya juga akan positif bagi generasi penerus ke depan.

Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan penggunaan energi terbarukan saat ini baru dilakukan segelintir pabrikan yang umumnya berasal dari perusahaan besar karena investasi yang dibutuhkan tidak sedikit. Selain itu ada tantangan lain penggunaan energi terbarukan seperti rooftop panel dengan beban biaya charging dari PLN.

“Jadi kami harap pemerintah melakukan pembenahan regulasi kelistrikan agar swasta lebih semangat,” katanya kepada Bisnis, Selasa (29/6/2021).

Rachmat menyebut salah satu regulasi itu adalah Undang Undang ketenagalistrikan di Indonesia hanya mewajibkan satu-satunya penyalur listrik adalah PLN. Pasalnya, meskipun pabrikan membuat panel surya secara mandiri, tetap saja harus disalurkan melalui tenaga jejaring PLN. 

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only