Data AEOI Minim Eksekusi

Data AEOI Minim Eksekusi

Kementerian Keuangan mencatat, pemerintah telah menerima data Automatic Exchange of Information (AEOI) mencapai Rp2.742 triliun dari berbagai yurisdiksi mitra dan data keuangan dari lembaga keuangan dalam negeri sebesar Rp3.574 triliun untuk saldo rekening akhir 2018.

Ditjen Pajak Kementerian Keuangan pun telah melakukan proses terhadap data-data keuangan tersebut, dan menyandingkan dengan data saldo keuangan pada harta setara kas yang dilaporkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi.

Dari proses tersebut, ditemukan hasil sebesar Rp5.646 triliun dari 795.505 wajib pajak yang telah terklarifikasi atau telah dilaporkan, dan senilai Rp670 triliun dari 131.438 wajib pajak yang sedang dalam proses klarifi kasi oleh otoritas pajak. 

Selain saldo rekening akhir tahun, data penghasilan yang meliputi dividen, bunga, penjualan surat berharga, dan penghasilan lainnya di luar negeri yang didapatkan dari AEOI adalah sebesar Rp683 triliun. 

Data tersebut saat ini sedang dalam proses konfi rmasi atas Rp676 triliun di antara terhadap 50.095 wajib pajak.

Adapun, dana senilai Rp670 triliun dari 131.438 wajib pajak yang sedang dalam proses klarifikasi itu merupakan angka selisih setara kas pada SPT 2018 dengan data AEOI. 

Persoalannya, penelusuran dan tindak lanjut dari data senilai Rp670 triliun itu sejauh ini belum maksimal.

Berdasarkan dokumen rumusan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang diperoleh Bisnis, otoritas pajak hanya mampu mengidentifikasi 30.722 wajib pajak dengan nilai data Rp78 triliun dan sebanyak 9.846 wajib pajak telah ditindaklanjuti dengan imbauan yang nilai datanya sebesar Rp39 triliun.

Artinya, secara total data yang mampu ditindaklanjuti oleh pemerintah hanya Rp117 triliun. Dengan kata lain, data yang belum mampu diidentifikasi oleh pemerintah mencapai Rp553 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU KUP kepada Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengatakan bahwa selama ini otoritas pajak telah melakukan tindak lanjut data tersebut dengan maksimal dan dilakukan secara hati-hati.

“Ditjen Pajak melakukan pro-ses yang sangat prudent terhadap data-data keuangan [AEOI] tersebut, dan menyandingkan dengan data saldo keuangan pada harta setara kas yang dilaporkan pada SPT Tahunan Orang Pribadi,” kata Menkeu dalam dokumen pidato mengenai RUU KUP yang dikutip Bisnis, Selasa (29/6).

Dia menambahkan, tindak lanjut ini menunjukkan bahwa partisipasi Indonesia dalam berbagai perjanjian perpajakan internasional mampu meningkatkan kapasitas Ditjen Pajak untuk menggali berbagai potensi perpajakan yang selama ini belum terungkap.

Sekadar informasi, kerja sama AEOI tersebut disepakati pada 2018, setelah program Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty selesai dijalankan.

Kerja sama itu dilakukan untuk mengawasi potensi pelanggaran kewajiban perpajakan pascaprogram pengampunan pajak yang digulirkan pada 2016.

Sementara itu, otoritas pajak berdalih, tidak optimalnya tindak lanjut itu disebabkan oleh empat hal.

Pertama tidak adanya nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kedua alamat yang tidak lengkap atau alamat berada di luar negeri. Ketiga nama dan tanggal lahir pemegang rekening keuangan tidak ditemukan.

Keempat data AEOI hanya mencakup data keuangan dan tidak termasuk data properti serta investasi dalam bentuk aset kripto. 

Kendati pada kenyataannya, pemerintah memiliki waktu yang cukup lama untuk menindaklanjuti data tersebut. 

“Data AEOI diterima tahun 2018,” tulis data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis.

Sejalan dengan gagalnya tindak lanjut tersebut, pemerintah lantas menyiapkan skema sunset policy yang termuat di dalam RUU KUP. 

Menanggapi hal ini, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan, pemerintah memiliki dua hambatan besar untuk bisa mendulang penerimaan dari data AEOI tersebut.

SINKRONISASI DATA

Pertama adalah sinkronisasi data yang lemah, di mana antara data AEOI 2018 dengan data pemerintah yang berasal dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) tidak memiliki informasi yang seragam.

“Untuk data AEOI 2018, peme-rintah hanya punya waktu sampai 2023 untuk bisa melakukan penagihan pajak. Sementara itu saat ini pemerintah msh menghadapi keterbatasan database wajib pajak orang pribadi,” jelas Prianto.

Kedua adalah hambatan dari wajib pajak yang banyak mengelak dari data AEOI dan data ILAP tersebut.

Hal ini kemudian memicu sengketa pajak yang memakan proses cukup panjang sehingga pemerintah tidak bisa langsung menerima setoran, kendati telah menindaklanjuti data-data tersebut.

“Pemerintah tidak bisa langsung memperoleh pembayaran pajak jika hasil pemeriksaan berupa pajak yang masih harus dibayar bertambah, karena wajib pajak bisa mengajukan keberatan, banding, bahkan peninjauan kembali,” ujarnya.

Di sisi lain, skema pengungkapan aset sukarela dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final atau yang dikenal dengan istilah PAS Final belum memiliki daya dorong ke penerimaan.

Hal itu dapat dilihat dari terbatasnya jumlah wajib pajak yang memanfaatkan skema tersebut.

“Dengan skema PAS Final saat ini, tidak banyak wajib pajak redisclose harta yang masih belum diungkap dalam Tax Amnesty 2016,” kata dia.

Terkait dengan sunset policy, Prianto menilai ini adalah opsi terbaik yang bisa ditempuh oleh pemerintah untuk menutup celah defisit dalam jangka pendek.

Jika langkah ini tidak dilakukan, pemerintah hanya memiliki satu opsi, yakni kembali menarik utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN).

“Ini sepertinya menjadi opsi paling realistis dan instan bagi pemerintah untuk menambah penerimaan pajak secara cepat ketika pandemi Covid-19 belum juga berakhir,” kata Prianto.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menambahkan, data AEOI tidak lantas bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah karena beberapa alasan.

Salah satunya adalah keterbatasan sumber data dan akses yang dimiliki oleh petugas pajak sehingga tindak lanjut dari data tersebut sering terbengkalai.

Selain itu, informasi yang diterima oleh Ditjen Pajak Kementerian Keuangan acap kali tidak lengkap sehingga sistem pelacakan tidak bisa dilakukan dengan optimal.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only