Jakarta, CNN Indonesia – Ekonom Faisal Basri mengingatkan pemerintah bahwa 52,8 persen penduduk masuk dalam kelompok rentan miskin. Berarti, lebih dari separuh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi tidak aman alias insecure.
“Ini camkan bahwa penduduk rentan masih di atas setengah. Hidupnya insecure. Ini ada masalah dalam pembangunan di Indonesia,” ujar Faisal dalam Webinar Nasional 58 PATAKA, Kamis (1/7).
Faisal menjelaskan data ini seharusnya menjadi rujukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan perpajakan. Salah satunya, pajak pertambahan nilai (PPN) sembako.
PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Nah, pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.
“Dalam menerapkan perpajakan, pemerintah harus tahu kondisi rakyat seperti apa,” tegas Faisal.
Terlebih, tiga perempat konsumsi masyarakat rentan miskin adalah makanan. Alhasil, pergerakan harga makanan akan memengaruhi pola konsumsi mereka.
Beberapa jenis makanan yang menjadi konsumsi utama penduduk rentan miskin, antara lain makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih, padi-padian, ikan, sayur-sayuran, telur dan susu, buah-buahan, dan daging.
“Ini rata-rata pengeluaran sebulan. Total pengeluaran Rp572.551 untuk makanan. Ini penduduk insecure,” jelas Faisal.
Sementara, beberapa produk konsumsi penduduk miskin, di antaranya beras, rokok, telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, mie instan, kue basah, kopi bubuk, cabai rawit, gula pasir, roti, dan bawang merah.
“Lebih haru biru lagi orang miskin 50 persen untuk makanan. Hati-hati jangan sampai gara-gara PPN, orang miskin naik,” imbuh dia.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategi Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah hanya akan mengenakan PPN sembako untuk beras dan daging. Sementara, bahan pangan lainnya tidak akan dikenakan PPN.
“Di luar beras dan daging belum ada urgensi untuk membuat aturan berbeda. Ini karena dua varian ini ditemukan disparitas harga yang lebar,” kata Yustinus.
Ia juga mengklarifikasi bahwa pemerintah tak berniat untuk menambah beban pajak ke masyarakat dengan mengenakan PPN sembako. Menurut Yustinus, PPN sembako diberlakukan agar sistem perpajakan dari hulu hingga hilir tercatat.
“Kalau barang tidak terkena pajak, otomatis di luar sistem PPN, sehingga tidak bisa kami catat distribusi dan konsumsinya,” kata Yustinus.
Ia mencontohkan pemasok beras Cianjur yang mencapai 10 ton hingga 1 juta ton tidak tercatat karena mereka bukan pengusaha kena pajak.
Dengan demikian, pemerintah tak bisa memantau apakah pemasok itu sudah benar-benar membayar kewajibannya, seperti pajak penghasilan (PPh) dengan benar atau belum.
“Sulit dikonfirmasi karena tidak ada faktur yang diterbitkan atas barang atau jasa tersebut. Jadi, tujuan utama bukan memajakinya, tapi memasukkan ke dalam sistem,” katanya.
Diketahui, pemerintah akan mengenakan PPN terhadap sembako atau barang kebutuhan pokok.
Hal tersebut tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam draf aturan itu, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, barang pokok akan dikenakan PPN.
Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Sumber: CNN Indonesia, Kamis 1 Juli 2021
Leave a Reply