Rasio Pajak Makin Turun

Pengenaan pajak sembako dinilai kurang adil karena di sisi lain, pemerintah memberikan diskon besar-besaran bagi penjualan ata barang mewah (PPnBM).

JAKARTA – Penolakan terhadap wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sembilan bahan pokok (sembako) terus bergulir. Sejumlah kalangan menilai bahwa pemerintah sudah kehabisan untuk membiayai negara, salah satu indikatornya rasio pajak turun hingga di bawah 10 persen.

Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menyebut, selain rasio pajak turun, penawaran obligasi juga tak mudah di tengah pandemi Covid-19. Di sisi lain, biaya belanja untuk menangani pandemi Covid-19 meningkat.

Dampak dari kehabisan duit, pemerintah menabrak sasaran pajak yang sensitif sehingga dinilai kurang adil. Sebab, di sisi lain, pemerintah memberi keringanan untuk membeli kendaraan mewah melalui skema diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga nol persen yang kemudian diperpanjang hingga Agustus mendatang.

“Saya rasa ini kurang adil, dari penelitian kami (Indef), sebagian besar masyarakat menolak,” ucap Didik yang juga merupakan peneliti senior Indef di Jakarta, Senin (28/6).

Dia menambahkan sebanyak 70 persen masyarakat menolak pengenaan pajak untuk sembako di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Itu sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Continuum lembaga sayap Indef.

Dalam survei tersebut masyarakat menilai kebijakan pajak sembako tidak mencerminkan keadilan kepada kepentingan masyarakat yang mana saat pandemi seperti ini kebutuhan sembako justru akan meningkat. “Masyarakat merasa tidak adil kalau pajak sembako itu dikenakan sementara (sembako) itu kebutuhan penting pada saat krisis,” tambah Didik.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan bahwa sembako akan menjadi objek pajak. Namun, pemerintah hanya akan menyasar produk premium yang juga termasuk dalam kategori sembako, seperti Beras Shirataki atau Basmati hingga Daging Wagyu dan Kobe.

Sri Mulyani mengatakan bahwa fenomena munculnya produk-produk yang very high end, namun tetap termasuk dalam sembako itulah yang pemerintah coba untuk seimbangkan. “Justru pajak itu mencoba untuk meng-adress isu keadilan karena diversifikasi dari masyarakat kita sudah sangat beragam,” tutur Sri Mulyani.

Sementara itu, Kepala Food Center Sustainable Food Development Indef Abra Talattov mengatakan penerimaan pajak sudah loyo jauh sebelum pandemi dengan pertumbuhan rata-rata 2,9 persen per tahun. “Kondisi kesehatan APBN kita sudah sangat tidak baik sebelum Pandemi. Jadi jangan menjadikan Pandemi ini sebagai kambing hitam terhadap ambruknya atau menurunnya kinerja APBN kita,” kata dia.

Bahkan, lanjut Abra, pertumbuhan perpajakan pada 2019 hanya tumbuh 1,8 persen. Buruknya kinerja perpajakan juga tercermin dari rasio perpajakan yang terus turun dalam lima tahun terakhir. Tax ratio pada 2019 sebesar 9,6 persen dan berlanjut turun pada 2020 dengan 8,3 persen. Begitu juga dengan dan tax buoyancy yang selalu di bawah 1.

“Artinya kita satu persen pertumbuhan ekonomi pada 2019 menciptakan 0,27 persen penerimaan pajak. Artinya masih belum optimal penerimaan pajak kita,” ujar Abra.

Bunga Utang

Abra juga mengatakan APBN sudah dimasuki “parasit” melalui bunga utang. Secara nominal nilai bunga utang terus membengkak dan secara proporsi terhadap penerimaan perpajakan pembayaran bunga utang Indonesia terus menanjak. Dia mencatat pada 2014 beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan baru 11 persen, kemudian bertambah menjadi 17,24 persen pada 2020.

“Jumlah ini berpotensi terus meningkat karena kebutuhan pembiayaan hutang kita semakin besar kemudian bunga utang masih tinggi dibandingkan negara negara lain dan ini juga pada gilirannya akan meningkatkan beban bunga utang kita,” tutur Abra.

Sumber : Koran-Jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only