Potensi Penerimaan Menggiurkan

Bisnis, JAKARTA — Kantong negara bakal makin tebal menyusul besarnya potensi penerimaan dari Pajak Transaksi Elektronik yang diakomodasi di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

Berdasarkan simulasi Bisnis, potensi penerimaan yang bisa dipungut oleh pemerintah dalam skema Pajak Transaksi Elektronik (PTE) sedikitnya mencapai Rp75,6 triliun.

Estimasi itu menggunakan asumsi jumlah transaksi perdagangan elektronik dalam negeri pada tahun lalu yang tertuang di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Pemerintah mencatat, jumlah transaksi perdagangan elektronik di dalam negeri pada tahun lalu mencapai Rp630 triliun dan menjadi potensi objek Pajak Penghasilan (PPh), PPN, dan/atau PTE. 

Angka tersebut diperoleh berdasarkan olah data pemerintah dengan mengacu pada kajian Google, Temasek & Bain.

Potensi penerimaan senilai Rp75,6 triliun menggunakan asumsi tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) baru yang diusulkan sebesar 12%.

Adapun jika menggunakan tarif PPN yang saat ini berlaku yakni sebesar 10% maka estimasi penerimaan Rp63 triliun.

Sementara itu, dalam Naskah Akademik RUU KUP pemerintah masih menggunakan asumsi tarif sebesar 1%, sehingga jumlah potensi penerimaan pajak yang didapat hanya senilai Rp6,3 triliun.

“Penerimaan pajak tersebut tentunya akan berdampak positif terhadap keuangan negara,” tulis pemerintah dalam Naskah Akademik RUU KUP yang diperoleh Bisnis, Kamis (1/7).

Terkait dengan penghitungan potensi dari sisi PPh, pemerintah masih belum memiliki dasar asumsi lantaran menunggu konsensus global yang difasilitasi oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sejauh ini yang telah diterapkan adalah pemajakan dari sisi PPN dengan menunjuk sejumlah penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebagai wajib pungut. Sekadar informasi, PTE telah terakomodasi dalam UU No. 2/2020. 

Skema ini akan diterapkan jika wajib pajak luar negeri tidak dapat dikenai PPh karena penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Adapun PTE dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar negeri.

Otoritas fiskal pun tengah ancang-ancang untuk menyiapkan skema PTE sebagai antisipasi jika pungutan PPh terkendala P3B dan alotnya konsensus global. Hal itu terlihat dari draf RUU KUP yang mengakomodasi sejumlah ketentuan terkait dengan PTE.

Pemerintah berargumen, pemungutan PTE menjadi tepat karena dikenakan pada setiap transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar negeri sebagaimana lazimnya pemotongan dan/atau pemungutan “Dari sisi pihak yang harus menanggung beban PTE, mereka juga harus merasakan perlakuan yang adil. 

PAJAK TRANSAKSI ELEKTRONIK POTENSI PENERIMAAN MENGGIURKAN

pajak selain PTE di Indonesia yang juga dilakukan atas setiap transaksi. “Namun demikian, karena pemotongan dan/atau pemungutan PTE belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, dasar pengaturan perlu disusun yang kemudian menjadi cakupan pengaturan dalam RUU KUP,” tulis argumentasi pemerintah.

Pelaporan PTE dapat dilakukan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri dengan menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia. 

Akan tetapi, ketentuan yang tertuang di dalam UU No. 2/2020 itu belum mengakomodasi risiko jika pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri tidak menunjuk perwakilannya yang berkedudukan di Indonesia.

Alhasil, terdapat kemungkinan ada penerimaan PTE yang tidak dibayar dan tidak dilaporkan. Jika hal ini terjadi maka akan ada potensi kerugian penerimaan pajak bagi pemerintah.

“Dengan diaturnya hal tersebut dalam RUU KUP diharapkan dapat meminimalisasi kehilangan penerimaan pajak dan memberikan instrumen pengawasan untuk mengamankan penerimaan,” tulis pemerintah.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan, pemerintah harus mengidentifikasi secara jelas dan terperinci terkait dengan objek PTE supaya memiliki legalitas kuat.

Penerapan PTE di lapangan juga harus memberikan kemudahan dari sisi administrasi bagi wajib pajak yang mendapatkan tugas untuk memungut dan melaporkan. 

“Dari sisi pihak yang harus menanggung beban PTE, mereka juga harus merasakan perlakuan yang adil.” Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengusulkan, untuk mempermudah pengelolaan data maka PMSE harus masuk ke dalam kategori instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) yang berperan sebagai pemasok data bagi otoritas pajak.

Hal ini akan memudahkan pemerintah mengindentifikasi dan menggali potensi penerimaan dari ekonomi digital. 

“Sektor digital menurut saya sudah seharusnya masuk dalam daftar mengingat makin banyak PMSE yang ditunjuk menjadi pemungut PPN.”

Sumber: ortax.org, Jumat 2 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only