Penerapan MDR di Indonesia Hanya Tunggu Momentum Tepat

MANDATORY Disclosure Rules (MDR) berperan dalam upaya penangkalan base erosion and profit shifting (BEPS) dan peningkatan penerimaan negara pada era transparansi pajak internasional. Namun, penerapan MDR tidak jarang menemui kesulitan.

Selain pertentangan dari sisi politis, beban administrasi pelaporan juga menjadi tantangan tersendiri. Hal tersebut menjadi salah satu aspek pembahasan dalam Rust Conference pada 1—3 Juli 2021. Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan dan Senior Researcher DDTC Dea Yustisia juga hadir sebagai national reporter dalam acara tersebut.

Setidaknya, terdapat dua isu utama terkait penerapan MDR. Pertama, isu kepastian hukum. Meskipun memiliki perspektif yang sangat luas, kepastian hukum pajak terkait dengan MDR dapat digarisbawahi dari dua sisi.

Sisi pertama ialah terkait dengan perlindungan terhadap informasi dan data, baik untuk wajib pajak maupun intermediaries – seperti halnya konsultan pajak – yang telah mengungkap skema aggressive tax planning (ATP) kepada otoritas pajak.

Selain itu, pelanggaran atas aspek kepastian hukum lainnya juga akan terjadi apabila MDR diterapkan secara retroaktif. Hal ini terjadi pada penerapan MDR di Spanyol yang berujung pada ranah hukum hingga mencapai tingkat Spanish Supreme Court.

Kedua, isu perbedaan sisi administrasi. Meskipun OECD telah mengeluarkan panduan pelaporan untuk MDR, terdapat divergensi yang tinggi terkait dengan threshold pihak yang wajib mengungkap ATP. Beberapa negara menggunakan threshold yang sangat rendah, sedangkan beberapa negara lain mamatok sangat tinggi.

Terdapat trade-off terkait dengan aspek threshold bersangkutanyakni antara aspek proporsionalitas dan jumlah pihak yang melaporkan. Bagi negara yang menetapkan threshold tinggi, tujuan dari MDR –yakni untuk menangkal ATP – akan lebih mudah untuk disasar. Dengan kata lain, sistem ini dianggap lebih memenuhi aspek proposionalitas dalam konteks hukum pajak.

Di sisi lain, bagi negara yang memiliki banyak data terkait dengan skema ATP, data tersebut akan lebih baik ditujukan untuk ‘forensik’ kebijakan perpajakan. Dengan kata lain, penggunaan data tidak seharusnya ditujukan untuk memberikan skema sanksi yang lebih berat dan hanya berorientasi pada penerimaan perpajakan.

Bagaimana dengan Indonesia?
Salah satu aspek utama yang digarisbawahi dalam Rust Conference tahun ini adalah penggunaan data MDR yang idealnya digunakan untukmendeteksi perilaku wajib pajak.

Dengan demikian, data MDR dapat menjadi instrumen untuk mengamendemen aturan-aturan penyebab loophole perpajakan, alih-alih berfokus pada penerapan sanksi bagi wajib pajak. Pengelolaan data seharusnya juga untuk memperbaiki pola hubungan pemerintah dengan wajib pajak.

Pada akhirnya, kebijakan MDR diharapkan dapat lebih bersifat kolaboratif ketimbang enforcement,” ujar Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan yang menjadi national reporter dari Indonesia sekaligus pembicara dalam acara tersebut.

Di sisi lain, MDR juga bisa dikaitkan dengan rencana implementasi general anti-avoidance rule (GAAR) di Indonesia. Data dari MDR bisa dijadikan asesmen awal mengenai ada atau tidaknya substansi bisnis dalam perencanaan pajak yang dilaporkan.

Dalam konferensi yang digelar Vienna University of Economics and Business ini, Romi mengatakan pemerintah Indonesia dapat terlebih dahulu memanfaatkan pilot project untuk skema cooperative compliance bagi BUMN.

Program tersebut juga dapat menjadi instrumen analisis biaya dan manfaat untuk mempertimbangkan aspek-aspek terkait dengan MDR yang akan diterapkan pada kemudian hari. Menurut Romi, sangatlah penting untuk menentukan definisi ATP dalam kebijakan perpajakan di Indonesia.

Selain untuk memberikan kepastian hukum, definisi yang jelas akan mencegah adanya overreporting yang dapat menjadi beban bagi wajib pajak ketimbang berfokus pada tujuan utama dari penerapan kebijakan ini sendiri.

Untuk memperkuat aspek kepastian hukum lainnya, menurut Romi, diperlukan penjelasan yang detail terkait dengan skema implementasi MDR yang dapat diatur pada aturan setingkat peraturan menteri keuangan (PMK).

Pasalnya, penerapan kebijakan MDR perlu dievaluasi dari waktu ke waktu. Menurut Romi, skema sanksi yang berat tidak seharusnya dikenakan pada tahap awal implementasi. Hal tersebut berfungsi untuk mencegah resistensi dari wajib pajak.

Sebagai informasi, Indonesia telah memiliki landasan kebijakan perpajakan yang dapat mengakomodasi penerapan MDR pada kemudian hari. Landasan itu ada pada Pasal 3, Pasal 35, Pasal 35A, dan Pasal 48 Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Terlebih, sebagai negara yang aktif dalam proyek-proyek BEPS, Indonesia cenderung tidak menemui kesulitan dari sisi politis untuk menerapkan MDR. “Dengan kata lain, penerapan MDR di Indonesia hanya akan menunggu momentum yang tepat, yakni saat konsolidasi fiskal,” imbuh Romi.

Sebagai informasi kembali, sebelum tahun ini, sejak 2016 DDTC selalu diundang dalam Rust Conference. Adapun profesional DDTC yang terpilih adalah:

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only