PENYELAMATAN PENERIMAAN NEGARA : Sekat Baru Penghindar Pajak

JAKARTA – Pemerintah berupaya menutup celah praktik penghindaran pajak yang memanfaatkan fasilitas Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atau memanipulasi penghasilan melalui skema alternative minimum tax (AMT) atau Pajak Penghasilan (PPh) minimum.

Skema tersebut tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang No. 6/2983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

AMT akan dikenakan kepada perusahaan yang mencatatkan rugi selama 5 tahun berturut-turut dengan menggunakan dasar pada penghasilan bruto. Adapun tarif yang diusulkan adalah 1%.

Dalam Naskah Akademik RUU KUP, pemerintah menyebut pengenaan PPh minimum ini dilakukan lantaran adanya kenaikan jumlah Wajib Pajak Badan yang mencatatkan kerugian usaha dalam beberapa tahun terakhir. (Lihat infografik).

Sementara itu, otoritas pajak mengendus pencatatan kerugian itu sengaja dilakukan untuk mencari keuntungan pajak. Modusnya adalah dengan memanipulasi biaya, pengurang penghasilan bruto, kredit pajak, atau dengan memunculkan jenis penghasilan tertentu yang dikecualikan dari perhitungan PPh secara reguler.

Cara lain adalah dengan memanfaatkan celah pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan yurisdiksi lain. Dalam praktiknya, P3B dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk menghindar dari kewajibannya melalui skema treaty shopping.

Treaty shopping adalah skema untuk mendapatkan fasilitas, misalnya penurunan tarif pemotongan pajak yang disediakan melalui P3B oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Adapun penerima fasilitas P3B adalah perusahaan multinasional.

Kementerian Keuangan mencatat, setidaknya terdapat 9.496 Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian fiskal 5 tahun berturut-turut dengan total jumlah penghasilan bruto pada 2019 sekitar Rp830 triliun.

Estimasi penerimaan pajak dengan diterapkannya AMT berdasarkan penghitungan data tersebut yaitu Rp8,3 triliun. “Penerapan AMT dapat meminimalisasi terjadinya tax avoidance dengan memanfaatkan fasilitas atau memanipulasi pengurang penghasilan serta melakukan perencanaan pajak yang agresif,” tulis Naskah Akademik RUU KUP yang diperoleh Bisnis, Rabu (7/7).

Alasan lain yang dijadikan dasar bagi pemerintah menyusun kebijakan ini adalah korporasi yang merugi selama 5 tahun berturut-turut itu tidak membayar PPh Pasal 25/29 Badan tetapi tetap beroperasi di Indonesia.

Sementara itu, wajib pajak lainnya pada sektor yang sama membukukan keuntungan dan membayar PPh. Dengan kata lain, AMT disusun dengan mempertimbangkan aspek keadilan antarwajib pajak.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo saat mengikuti rapat dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR awal pekan ini mengonfirmasi data yang diperoleh Bisnis tersebut.

Menurutnya, AMT disusun untuk menindaklanjuti ketidakpatuhan korporasi, sehingga perlu disusun instrumen guna menangkal penghindaran pajak. “Ada tren wajib pajak yang melaporkan rugi meningkat dari waktu ke waktu. Di antaranya karena cost tinggi atau transfer mispricing. Kami perlu pengaturan untuk menangkal penghindaran pajak dengan model ini,” jelasnya.

Suryo menambahkan, AMT nantinya bersifat sebagai PPh terutang bagi wajib pajak korporasi dan merupakan kredit atau pengurang dari pajak yang seharusnya dibayarkan.

Akan tetapi pemerintah juga merumuskan pengecualian kepada tiga kelompok untuk skema pajak ini. Pertama, usaha yang belum berproduksi komersial. Kedua, secara natural kegiatan usaha mengalami kerugian, misalnya karena kondisi tertentu seperti pandemi Covid-19. Ketiga, mendapat fasilitas PPh tertentu, misalnya tax holiday.

Suryo menambahkan, pandemi Covid-19 memang menjadi pertimbangan bagi otoritas fiskal dalam mengimplementasikan kebijakan ini. Pasalnya, hampir seluruh sektor bisnis terdampak oleh Covid-19 sejak tahun lalu. “Sebagian besar rugi.”

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai AMT merupakan hukuman bagi korporasi multinasional atau penanaman modal asing (PMA) yang melakukan penghindaran dan pengelakan pajak secara agresif.

“Secara hitung-hitungan bisnis mereka harusnya tak rugi. Tetapi dengan skema penghindaran pajak yang agresif mereka jadi merugi, sehingga tak bayar PPh Badan,” tuturnya.

Penghindaran tersebut dilakukan dengan menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak, baik menggunakan cara legal (tax avoidance) atau ilegal (tax evasion). Modus lain adalah dengan mengadakan program corporate social responsibility (CSR) secara berlebihan, serta membeli saham dalam jumlah minim. Pengelakan dilakukan biasanya karena likuiditas perusahaan yang rendah.

Fajry menambahkan AMT bisa menjaga potensi penerimaan di tengah maraknya praktik penghindaran pajak tersebut. “Di sinilah fungsi AMT, dia mengenakan pada omzet terhadap perusahaan yang nakal tersebut. Jadi tidak bisa menghindar lagi kalau yang dikenakan omzetnya.”

Di sisi lain, kendati pemerintah memberikan pengecualian, kalangan pelaku usaha menolak implementasi PPh minimum tersebut.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan pemerintah tidak bisa memaksakan penerapan AMT jika kemampuan bayar korporasi lemah.

“Kalau memang usahanya belum menguntungkan, masa iya mau dipajaki juga? Ini mengisyaratkan pemerintah hanya ingin mengambil manfaat dari wajib pajak tanpa melihat kondisi di lapangan,” tegasnya.

Menurutnya, otoritas pajak bisa meningkatkan potensi penerimaan tanpa menambah beban pelaku usaha, yakni dengan memaksimalkan sisi pengawasan dan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang tidak patuh.

Selain itu memperkuat data serta mekanisme pengawasan, sehingga penggalian potensi bisa terealisasi dengan maksimal tanpa membebani pelaku usaha.

“Jangan memaksakan memungut pajak yang tidak sesuai dengan objeknya. Niatnya memungut PPh tetapi yang dipungut bahkan yang tidak punya tambahan kemampuan ekonomis,” kata Hamdani.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only