Ratifikasi Perjanjian Pajak Minimum Korporasi Global Belum akan Siap Sampai 2022

VENESIA – Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen pada Minggu (11/7) mengatakan, mekanisme global baru untuk mengutip pajak lebih besar dari perusahaan-perusahaan multinasional yang untung tinggi, mungkin belum siap masuk meja wakil rakyat masing-masing negara pendukung hingga musim semi 2022.

Yellen mengatakan itu pada konferensi pers usai pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral kelompok negara G-20 di Venesia, Italia. Menurut dia, progres Pilar 1 – berdasarkan kesepakatan pajak 132 negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) – tentang realokasi hak-hak perpajakan akan sedikit lebih lamban dibandingkan pajak minimum korporasi global sedikitnya 15%.

Para petinggi keuangan G-20 mendukung kesepakatan tersebut di Venesia. Tetapi tetap ada keraguan apakah pemerintahan Presiden AS Joe Biden akan mampu meyakinkan Kongres yang terbelah untuk meratifikasi kesepakatan tersebut.

Yellen berharap kesepakatan itu mencakup ketentuan untuk melaksanakan apa yang disebut Pilar 2 pajak minimum global ke dalam rancangan undang-undang rekonsiliasi anggaran tahun ini. Yang menurutnya dapat disetujui Kongres AS walau dengan suara mayoritas sederhana.

Bagian Pilar 1 dari perjanjian itu akan mengakhiri penerapan pajak sepihak atas layanan digital. Gantinya adalah mekanisme baru untuk memungut pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut di mana pun mereka menjual produk dan layanannya. Bukan lagi berdasarkan domisili kantor pusat dan hak kekayaan intelektualnya (haki).

Seorang pejabat Depkeu AS mengatakan, hal tersebut akan membutuhkan perjanjian pajak multilateral. Yang negosiasinya bakalan memakan waktu lama.

“Pilar 1 akan berjalan lebih lamban. Tapi kami tetap akan mengupayakannya bersama Kongres. Mungkin akan siap pada musim semi 2022 dan kami akan berusaha teguh apa yang dibutuhkan untuk implementasinya,” tutur Yellen, yang dikutip CNBC.

Ia menjawab pertanyaan apakah tetap butuh mayoritas dua pertiga suara di Senat, sebagaimana halnya persetujuan untuk perjanjian-perjanjian internasional.

G-20 dalam pernyataanya mendesak negara-negara yang masih pikir-pikir untuk untuk ikut serta mendukung kesepakatan tersebut.

Walau 132 negara dan teritori sudah menyatakan dukungan, tapi dukungan dari kelompok yang mencakup 19 negara ekonomi terbesar plus Uni Eropa (UE) itu akan membantunya untuk dapat menjadi kenyataan.

“Kami telah mencapai sebuah perjanjian bersejarah bagi (terwujudnya) arsitektur pajak internasional yang lebih adil dan lebih stabil,” kata G-20.

Kelompok tersebut mendukung komponen-komponen utama dari dua pilar dimaksud. Yakni realokasi laba perusahaan-perusahaan multinasional dan pajak minimum global.

Menkeu Prancis Bruno Le Maire mengatakan, kesepakatan ini adalah peluang yang sangat langka bagi tercapainya revolusi pajak. Ia berharap kesepakatan ini tidak sampai kandas.

Sementara Menkeu Olaf Scholz mengatakan, akhirnya korporasi-korporasi besar dunia tidak dapat lagi mengelak dari kewajiban pajaknya.

Persetujuan final terhadap kesepakatan ini diharapkan terjadi pada pertemuan puncak para pemimpin G-20 di Roma, Italia, pada Oktober 2021. Sedangkan implementasinya diharapkan pada 2023.

Belum Selesai

Sejumlah negara termasuk AS, Prancis, dan Jerman sangat menginginkan tarif minimum lebih tinggi pajak korporasi global itu. Tapi sebagian negara menolak kalau sampai 15%.

Di antaranya adalah India, yang berhasil menarik Apple dan Google untuk menjadikannya kantor pusat di Eropa, dengan tarif pajak rendah.

Dalam pernyataan akhirnya, para menteri G-20 berusaha meyakinkan negara-negara seperti itu untuk ikut menandatangani kesepakatan tersebut. Karena tanpa keikutsertaan Irlandia, Hungaria, dan Estonia, UE tidak dapat mengimplementasikannya.

Komisioner UE Urusan Ekonomi Paolo Gentiloni pun mengakui bahwa pekerjaan besar ini belum selesai.

Kelompok-kelompok masyarakat yang aktif menganalisis urusan pajak multinasional, seperti Oxfam, mengkritik kesepakatan tersebut. Karena hanya negara-negara kaya yang nantinya akan menikmati sebagian besar dari tambahan penerimaan pajak itu.

Menkeu India Nirmala Sitharaman mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah untuk memastikan bahwa reformasi pajak ini inklusif, berkelanjutan, lebih adil, dan memberikan penerimaan berarti bagi negara-negara berkembang.

Sumber : Investor Daily

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only