G20 Sepakat Kenakan Tarif Pajak Digital 15 Persen

JAKARTA – Negara-negara ekonomi terbesar yang tergabung dalam kelompok 20 (G20) pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral secara daring Senin (12/7) sepakat untuk mengenakan tarif pajak digital sebesar 15 persen.

Para delegasi sepakat mendukung penerapan solusi berbasis konsensus yang terdiri dari dua pilar tentang kebijakan pajak ekonomi digital. Kebijakan itu sebelumnya telah disepakati oleh 132 dari 139 negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kesepakatan itu merupakan momentum yang bersejarah karena akan mengubah platform atau arsitektur perpajakan internasional. Kesepakatan bakal berdampak positif kepada negara pasar seperti Indonesia karena berkesempatan mendapat alokasi hak pemajakan atas penghasilan yang diterima perusahaan digital global atau multinasional terbesar.

“Kesepakatan ini memperlihatkan kemampuan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global, khususnya terkait Base Erosion Profit Shifting (BEPS) serta persaingan tarif pajak yang tidak sehat dan diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif,” kata Menkeu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (13/7).

Menurut dia, kesepakatan itu selaras dengan reformasi perpajakan yang sedang dilakukan pemerintah, khususnya di area perpajakan internasional, sebagaimana diusulkan di dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain G20, negara-negara anggota G7 juga mendukung proposal pajak minimum perusahaan global sebesar 15 persen yang berlaku secara global, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengalihkan keuntungannya ke negara surga pajak.

Batas minimum yang diusulkan itu lebih rendah dari proposal Presiden AS, Joe Biden, yang mengusulkan pengenaan retribusi minimum 21 persen atas keuntungan luar negeri yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan AS.

Bantu Penerimaan

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan kesepakatan lintas negara tersebut bisa membantu pemerintah meningkatkan penerimaan negara di tengah pandemi Covid-19.

Kesepakatan juga membantu pemerintah mengejar pajak perusahaan over the top yang sering kali tidak memiliki kantor cabang atau perwakilan di Indonesia. Selama ini, jelasnya, perusahaan yang memiliki economic presence atau memperoleh manfaat ekonomi dari Indonesia berkelit kantor pusat dan pencatatannya tidak di Indonesia sehingga bebas melakukan aktivitas tanpa pembayaran pajak yang sesuai.

“Jika aturan pajak minimum berlaku dan antarnegara memiliki kesepakatan untuk dapat mengejar perusahaan digital yang konsumennya sebagian dari Indonesia maka dirjen pajak bisa mulai lakukan penyidikan secepat mungkin,” katanya.

Pajak digital, tambahnya, akan membantu pemerintah meningkatkan penerimaan di tengah penurunan pungutan dari industri dan perdagangan.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Wasiaturrahma, menambahkan, pajak digital untuk perusahaan multinasional jika diterapkan akan membantu penerimaan di APBN dan sangat efektif menaikkan target tax ratio.

Sumber: koran-jakarta.com, Rabu 14 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only