RI Bisa Pajaki 100 Perusahaan Multinasional Usai G20 Sepakati Sistem Pajak Internasional

JAKARTA, KOMPAS.com – Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam Forum G20 menyepakati sistem perpajakan internasional dengan telah ditetapkannya Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy.

Tercapainya kesepakatan tersebut setelah lebih dari satu dekade didiskusikan menunjukkan keberhasilan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya terkait mengatasi base erosion profit shifting (BEPS). Kesepakatan ini mencakup dua pilar yang bertujuan memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut.

BEPS adalah tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional. Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif, sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara.

Bank Dunia sebelumnya mencatat dari praktik BEPS kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar 100 miliar dollar AS hingga 240 miliar dollar AS, atau setara dengan 4 persen sampai dengan 10 persen produk domestik bruto (PDB) global.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, dengan kesepakatan pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional, akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.

Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar minimum 20 miliar euro dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi minimum 10 persen sebelum pajak.

“Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia,” kata Febrio dalam keterangan resminya, Kamis (15/7/2021).

Febrio mengatakan, sebelum adanya kesepakatan pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki bentuk usaha tetap (BUT). Sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. Namun dengan adanya kesepakatan pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.

Selanjutnya, kesepakatan pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omset konsolidasi sebesar 750 juta euro harus membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15 persen di negara domisili.

Dengan demikian, pilar 2 menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan race to the bottom. Sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.

“Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15 persen,” ujar Febrio.

Selain itu, adanya kesepakatan pilar 2 mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15 persen, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.

Menurutnya, pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15 persen untuk tujuan menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.

“Pemerintah cukup optimistis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha”, kata Febrio.

Febrio menambahkan bagi emerging countries seperti Indonesia, kesepakatan sistem perpajakan internasional hal ini penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya. Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS.

Berdasarkan OECD, 60 persen hingga 80 persen perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.

“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37 persen-42 persen PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat,” imbuh Febrio.

Sebagai informasi, persetujuan atas kedua pilar tersebut telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS.

Detail teknis dari dua pilar yang ada dalam kesepakan tersebut tersebut akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada bulan Oktober 2021 mendatang. Kedua pilar tersebut rencananya akan ditandandatangani di tahun 2022 dan diberlakukan secara efektif di tahun 2023.

Sumber: kompas.com, Kamis 15 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only