Penerimaan PPN E-Commerce Capai Rp 1,6 triliun, Naik 125,2 persen

Dirjen Pajak mencatat realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), biasa dikenal sebagai E-Commerce pada semester pertama tahun ini mencapai Rp 1.647,1 miliar, meningkat 125,2 persen dibanding semester kedua tahun lalu (Juli hingga Desember 2020) atau sebesar Rp 915,7 miliar.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor juga mengungkapkan bahwa pihaknya kembali menunjuk dua perusahaan yang memenuhi kriteri sebagai pemungut PPN PMSE atas produk digital luar negeri yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.

“Dua pelaku usaha tersebut yakni PT Fashion Marketplace Indonesia (Zalora) dan Pipedrive OU.”

Dengan penunjukan ini, maka sejak 1 Juli, para pelaku usaha tersebut berkewajiban memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia. Jumlah PPN yang harus dibayar pelanggan adalah 10 persen dari harga sebelum pajak dan harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN.

Dengan penambahan dua perusahaan, maka jumlah pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk DJP menjadi 75 perusahaan. Neilmaldrin menambahkan bahwa DJP akan terus mengidentifikasi dan aktif menjalin komunikasi dengan sejumlah perusahaan lain yang menjual produk digital luar negeri ke Indonesia untuk melakukan sosialisasi dan mengetahui kesiapan mereka sehingga diharapkan dalam waktu dekat jumlah pelaku usaha yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN produk digital akan terus bertambah.

Upaya pemerintah untuk dapat memungut PPN PMSE ini sungguh tak mudah dan berliku. Hal ini terutama bagi pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) asal luar negeri yang beroperasi di Indoneisa.

Katadata mencatat bahwa pada 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan Surat Edaran bernomor SE-04/PJ/2017 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap Bagi Subjek Pajak Luar Negeri Penyedia Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet.

Peraturan ini untuk memastikan perusahaan OTT luar negeri yang tergolong bentuk usaha tetap (BUT) sebagaimana disyaratkan UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Salah satu kriterianya adalah berkantor di Indonesia. Berlanjut, pada 2019 Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap. Melalui peraturan ini seluruh unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia wajib mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Dengan kepemilikan NPWP maka perusahaan digital luar negeri menjadi BUT dan tergolong subjek pajak. Namun, dua peraturan itu belum mampu untuk memaksa pelaku PMSE luar negeri menjadi BUT. Model bisnis pelaku PMSE bisa dilakukan lintas negara dan tak mesti bersangkutan dengan yuridiksi wilayah tertentu.

Pembayaran jasa atau barang oleh konsumen pun bisa diarahkan ke akun bank di luar negeri. Hal ini bisa terlihat dari praktik bisnis Netflix yang menyediakan layanan video on demand (VoD). Perusahaan ini tak berkantor di Indonesia dan pembayaran pembelian layanannya diarahkan ke akun banknya di Belanda.  

Kendala lain adalah ketiadaan kesepakatan global terkait norma dan standar pajak atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Pejabat keuangan negara-negara anggota G-20 telah mencoba merumuskan kesepakatan tersebut agar tidak terjadi sengketa pajak lintas negara dalam pertemuan di Fukuoka, Jepang, Juni tahun lalu.

Saat itu, Sri Mulyani mengatakan alasan pentingnya kesepakatan pajak digital karena pertumbuhan pendapatan perusahaan teknologi terus berlipat, tapi banyak negara tak merasakannya untuk PDB dan pendapatan pajak.

Sumber: katadata.co.id, Kamis 15 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only