RI Siap Kejar Pajak 100 Perusahaan Multinasional!

Kementerian Keuangan mengumumkan, saat ini para menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada G20 telah menyepakati arsitektur perpajakan internasional.

Salah satu hasil dari kesepakatan ini, Indonesia akan bisa menambah penerimaan dari pemajakan 100 perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, kesepakatan yang ditempuh dalam pertemuan G20 tersebut mencakup 2 pilar, yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi.

BEPS atau Base Erosion Profit Shifting adalah tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional.

Praktik ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara. Kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$ 100 miliar sampai US$ 240 miliar, atau setara dengan dengan 4% – 10% PDB global.

Indonesia Kejar Pajak 100 Perusahaan Multinasional

Pada Kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional

“Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar (minimum €20 miliar) dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi (minimum 10 persen sebelum pajak),” jelas Febrio dalam siaran resminya, dikutip Jumat (16/7/2021).

“Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia,” kata Febrio melanjutkan.

Sebelum adanya kesepakatan Pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki.

Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.

Persetujuan atas kedua pilar tersebut telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS.

Detail teknis dari dua pilar yang ada dalam kesepakatan tersebut tersebut akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada bulan Oktober 2021 mendatang. Kedua pilar tersebut rencananya akan ditandatangani di tahun 2022 dan diberlakukan secara efektif di tahun 2023.

Negara G20 Sepakat Hilangkan Persaingan Tarif Pajak

Selanjutnya, kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional, minimum omset konsolidasi sebesar €750 juta, membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.

Melalui Pilar 2 ini, maka negara G20 menyepakati untuk menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan ‘Race to the Bottom’ sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.

“Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%,” jelas Febrio.

Di samping potensi manfaat, Pilar 2 ini mempunyai dampak terhadap kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah. Desain insentif perpajakan, khususnya dengan penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15%, harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar dua.

Artinya, pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15% untuk tujuan misalnya menarik investasi. Dengan ketentuan ini, keputusan investasi diharapkan tidak lagi berdasarkan tarif pajak tetapi berdasarkan faktor fundamental.

“Pemerintah cukup optimis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha”, kata Febrio melanjutkan.

Kesepakatan Pajak Internasional Akan Optimalkan Penerimaan

Sistem perpajakan internasional yang baru ini, kata Febrio selaras dengan semangat reformasi perpajakan nasional yang diantaranya bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil.

Menurut Febrio, bagi emerging countries seperti Indonesia, hal ini penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya.

“Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS,” ujarnya.

Berdasarkan OECD, 60% hingga 80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.

“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37-42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat”, jelas Febrio.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only