Ini Langkah Sri Mulyani Kejar Setoran Pajak di Semester II 2021

Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat realisasi penerimaan pajak sampai dengan semester I tahun ini sudah mencapai Rp 557,8 triliun. Penerimaan pajak ini setara dengan 45,4 persen dari pagu APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,6 triliun.

Sri Mulyani menyebut, realisasi penerimaan pajak mengalami pertumbuhan 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pencapaian ini lebih baik dibandingkan penerimaan pajak pada semester I tahun lalu yang terkontraksi sebesar minus 12 persen.

“Itu tumbuh mendekati lima persen atau 4,9 persen dibandingkan tahun lalu yang kontraksi minus 12 persen. Ini adalah pembalikan yang cukup tinggi,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (22/7).

Untuk kepabeanan dan cukai, realisasi penerimaannya sudah Rp 122,2 triliun atau 56,9 persen dari target Rp 215 triliun. Penerimaan kepabeanan dan cukai mengalami pertumbuhan 31,1 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya tumbuh 8,8 persen.

Selanjutnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tercatat sudah Rp 206,9 triliun atau 69,4 persen dari target tahun ini Rp 298,2 triliun. Penerimaan dari PNBP ini mengalami pertumbuhan 11,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang minus 11,2 persen.

“PNBP juga karena kenaikan beberapa pos termasuk karena komoditas juga mengalami kenaikan luar biasa. Realisasi semester I mencapai Rp 206,9 triliun dari Rp 298 triliun yang ditargetkan atau ini sudah mendekati 70 persen,” ungkapnya.

Secara keseluruhan, pendapatan negara tercatat mencapai Rp 886,9 triliun hingga semester I-2021. Penerimaan negara setara 50,9 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp 1.43,6 triliun atau tumbuh 9,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Ini berarti suatu rebound atau dalam hal ini pembalikan yang sangat kuat, dan ini tercermin di semua pendapatan. Jadi kita lihat dari sisi pos pendapatan negara, APBN kita sebetulnya sudah menunjukkan suatu tren hijau (kenaikan) yang sangat solid,” jelas Sri Mulyani.

Sementara itu, Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan, pemerintah memproyeksi penerimaan pajak sepanjang tahun ini akan mencapai Rp 1.176,3 triliun atau setara 95,7 persen dari target Rp 1.229,6 triliun. Artinya, terdapat kekurangan penerimaan pajak atau shortfall Rp 53,3 triliun di tahun ini.

“Strategi penerimaan pajak di semester II dan kalau respons untuk jaga penerimaan pajak kita lakukan beberapa aktivitas memudahkan layanan, karena pandemi ini layanan berbasis digital adalah alternatif terus kami kembangkan,” jelas Suryo.

Selain itu, otoritas pajak juga akan melakukan pengawasan dan integrasi dengan pihak Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen Anggaran terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Kami perluas basis pemajakan terhadap transaksi perdagangan melalui transaksi elektrik ada 55 PMSE yang kami tunjuk PPN dari produk luar negeri,” jelasnya.

Dirjen Bea dan Cukai, Askolani, menuturkan bahwa pihaknya akan memperkuat pengawasan importasi dan eksportasi untuk mendorong penerimaan negara. Tentunya memastikan tarif tetap sesuai dengan volume yang dilakukan di lapang.

“Langkah-langkah penindakan barang-barang ilegal dari importasi dan eksportasi, sejalan dengan memperkuat DJP dan DJA, dan kami yakin banyak celah untuk optimalisasi penerimaan,” jelas dia.

Secara terpisah, Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin merekomendasikan agar penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) masuk ke dalam kebijakan pemerintah. Penerapan cukai rokok di Indonesia, kata Rafendi, masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai. Hal tersebut menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli rokok yang lebih rendah sehingga diperlukan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.

“Kita terancam gagal dalam reformasi fiskal jika simplifikasi tarif CHT tidak dilaksanakan. Ketika gagal, implikasinya jelas terkait dengan target penurunan prevalensi perokok anak gagal tercapai. Ini berarti perlindungan negara terhadap penduduk di bawah usia 18 tahun sebagai potensi bonus demografi akan rontok semua,” ujarnya.

Ekonom Tax Center UI Vid Adrison mengatakan, apabila dilihat dari strukturnya, sistem cukai hasil tembakau di Indonesia adalah sistem cukai yang sangat rumit karena menggunakan hingga 4 dimensi guna menentukan tarif cukainya, yaitu jenis rokok, golongan produksi, teknik produksi, serta harga.

“Di Indonesia, sistem CHT sangat kompleks, sehingga tujuan dari pengendalian konsumsi dari cukai itu tidak optimal. Selain itu, orang berusaha menghindari pajak secara legal, sehingga implikasinya penerimaan negara tidak optimal,” katanya.

Sumber: kumparan.com, Kamis 22 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only