Komunikasi Pajak di Masa Pandemi

Perdebatan terkait perpajakan menyita perhatian publik beberapa bulan ini. Sebagai wujud partisipasi di era demokrasi, sudah sepatutnya masyarakat memberikan perhatian serius terhadap pajak. Secara khusus, di masa pandemi ini peran pajak makin krusial. Akselerasi pemulihan ekonomi, termasuk pelaksanaan vaksinasi, dibiayai oleh pajak.

Publik sempat berdebat terkait wacana pajak sembako dan jasa pendidikan. Ini tak lepas dari pembahasan draf Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sedang berlangsung di DPR.

Meski tak beresonansi dengan substansi utuh RUU di atas, perdebatan publik tersebut mengindikasikan adanya diskoneksi persepsi masyarakat terhadap pentingnya pajak bagi penyelenggaraan negara. Ini terjadi karena berbagai kemungkinan, salah satunya kurang optimalnya komunikasi kebijakan pajak.

Pemerintah berpendapat bahwa rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah sehingga penerimaan pajak perlu digenjot. Mengaitkan rasio dengan urgensi penerimaan pajak, sayangnya, menjadi sinyal penting belum optimalnya komunikasi kebijakan pajak tersebut, karena beberapa alasan. Pertama, tren rasio pajak RI sudah ‘rutin’ menurun, dari sekitar 13% (2010) menjadi 10% (2019). Bahkan, target pada 2022 menjadi sekitar 8%.

Memang betul bahwa tingginya rasio pajak, sekitar 34%, menjadi ciri dari sebagian besar negara maju. Namun tak selamanya kemajuan identik dengan tingginya rasio pajak. Contohnya, sebagai negara maju, Singapura berasio pajak hanya sekitar 13% selama sepuluh tahun terakhir (OECD, 2020).

Kedua, perlu menjadi perhatian bahwa literasi pajak di masyarakat masih relatif rendah. Santernya pemberitaan korupsi dan penggelapan pajak, sayangnya, makin memperburuk stigma pajak di mata publik.

Pesan Patriotisme

Terkait komunikasi kebijakan, pengalaman Amerika Serikat (AS) menarik diamati. Pada masa Perang Dunia I dan II, AS dilanda krisis roti. Sebagian besar produksinya diperuntukkan untuk tentara yang berperang (Hester, 2016). Pemerintah pun mencari ide untuk meningkatkan konsumsi non-roti, khususnya kentang, demi menghindari potensi malnutrisi di dalam negeri.

Pada masa itu, meski AS produktif menghasilkan kentang, masyarakatnya lebih menyukai makan roti. Kentang dipandang sebagai panganan kelas rendah. Pemerintah AS pun mengampanyekan pesan: makan kentang itu patriotis. Alhasil, konsumsi kentang naik, ekonomi AS terbantu, dan masyarakat terhindar dari bahaya kekurangan gizi (Ong, 2018).

Pengalaman tersebut mengindikasikan, berbagai istilah teknis kebijakan publik perlu senantiasa ditransformasikan ke dalam pesan-pesan yang mudah dipahami masyarakat. Dalam konteks Indonesia, misalnya, membayar pajak dapat dikomunikasikan sebagai aksi nasionalisme sejati. Atau, bahwa menjadi pahlawan atau patriot bangsa itu mudah, yakni dengan membayar pajak.

Rekomendasi di atas sejalan dengan hasil studi bahwa injeksi nilai patriotisme berpotensi meningkatkan tingkat kepatuhan masyarakat atas pajak. (Lavoie, 2011). Namun demikian, tantangan berikut perlu diperhatikan terkait isu pajak di Indonesia. Di samping masih minim literasi perpajakannya, publik masih berjibaku melawan pandemi. Di tengah masyarakat juga masih santer isu-isu korupsi dan inefisiensi birokrasi.

Dalam situasi demikian, berbagai kebijakan untuk meningkatkan pajak jelas akan menuai resistensi dan ketidakpercayaan publik, meskipun intensinya tepat. Namun, apapun tantangannya, peningkatan penerimaan pajak tetaplah kebijakan yang harus didukung optimalisasinya. Di Indonesia, pajak mencakup sekitar 80 persen dari total penerimaan negara. Karenanya, peningkatan penerimaan pajak menjadi kebijakan yang makin urgen.

Di masa pandemi ini, pelibatan komunitas (community engagement) menjadi hal sangat penting dalam komunikasi kebijakan publik. Sebab, dukungan publiklah yang memastikan efektivitas pelaksanaan kebijakan (Hyland-Wood, Gardner, Leask & Ecker, 2021). Kerja sama dengan aktor-aktor non-pemerintah menjadi urgen. Hal ini juga sejalan dengan corak hubungan dan komunikasi masyarakat dengan pemerintah di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang umumnya dimediasi oleh tokoh dan organisasi kemasyarakatan. Konsultasi intensif, misalnya, dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat perlu dilakukan sebelum komunikasi dengan masyarakat lebih luas.

Para tokoh inilah yang nanti akan membantu menerjemahkan kepentingan dan urgensi kebijakan, khususnya terkait pajak, ke dalam narasi yang kontekstual dan mudah dipahami publik. Harapannya, literasi dan dukungan publik terhadap pajak pun dapat meningkat. Selain itu, tentu perbaikan kontinyu terhadap birokrasi harus terus diupayakan dan disosialisasikan. Dengan ini, diharapkan kepercayaan publik terhadap berbagai inovasi dan reformasi kebijakan pajak meningkat. Pajak pun dapat kemudian dipahami sebagai kontribusi besar masyarakat terhadap kemajuan Indonesia.

Sumber: news.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only