Migas Masih Jadi Andalan, 1 Juta Barel Terus Digalakkan

Jakarta: Kebutuhan energi di Tanah Air terus meningkat sejalan dengan upaya Indonesia untuk terus tumbuh dan berkembang dari sisi perekonomian. Minyak dan gas bumi (migas) pun dinilai masih akan menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan energi domestik.

  Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Saleh Abdurrahman mengatakan berdasarkan proyeksi banyak lembaga dunia, salah satunya International Energy Agency (IEA), energi fosil termasuk migas masih terus memainkan peran penting di tengah transisi energi ramah lingkungan.

  Bahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kendati secara persentase porsi minyak diramal menurun dari 25 persen di 2025 menjadi 20 persen di 2050, namun secara volume konsumsi minyak justru naik 139 persen dari 1,66 juta barel per hari (BPH) menjadi 3,97 juta bph.

Demikian juga gas yang menjadi jembatan dalam transisi energi meningkat 298 persen dari enam miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) di 2025 menjadi 24 BSCFD di 2025. “Sektor migas akan tetap memainkan peran yang penting dalam pembangunan,” kata Saleh dalam Pre-Event of the IPA Convex yang digelar secara virtual, Rabu, 28 Juli 2021.

  Proyeksi ini pula yang membuat mantan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) ini optimistis industri hulu migas akan terus berkembang di masa mendatang.

  Senada, mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini meyakini migas masih akan menjadi sumber utama energi kedepannya meskipun terjadi transisi energi. Namun, bukan berarti dirinya tidak mendukung kehadiran dan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

  Namun, menurut Rudi, EBT tidak bisa mengambil alih peran migas di Tanah Air. Ia menyebut, misalnya, kebutuhan atau konsumsi migas 1,8 juta barel setara minyak per hari. Menurut dirinya, 50 persen dari kebutuhan tersebut belum bisa dipasok oleh EBT, kecuali dengan mengandalkan nuklir.

  Meskipun berada di daerah tropis, kata dia, namun untuk menangkap cahaya matahari membutuhkan lahan yang luas agar hasilnya optimal. Guna menghasilkan satu mega watt (MW) energi listrik dari matahari membutuhkan lahan satu hektare. Berbeda halnya dengan migas yang lebih gampang dalam menggunakan lahan.

  “Kita menerima dengan EBT, tetapi kita tahu secara teknis operasi enggak mungkin EBT menggantikan migas, yang ada cuma subtitusi,” ujar Rudi.

  Dirinya mengilustrasikan kendati di masa mendatang pemerintah mendorong penggunaan mobil listrik, namun energi fosil termasuk migas masih sangat dibutuhkan untuk menggerakkan pembangkit listrik.

  “Memang penggunaan fuel langsung ke mobil berkurang. Tapi mobil itu harus disetrum, setrumya dari listrik, listriknya tetap dari fuel, dari minyak, dari coal, dari gas. Artinya kebutuhannya tetap dari migas,” tutur Rudi.

  Wakil Kepala Satuan Khusus Kegiatan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fatar Yani Abdurrahman mengatakan Indonesia masih sangat konservatif dalam menggunakan energi fosil tidak terkecuali migas. Apalagi harga kendaraan listrik yang diklaim menggunakan energi yang lebih bersih pun masih amat mahal ketimbang kendaraan berbahan BBM.

  Lebih dari itu, alih-alih beralih ke mobil listrik, untuk membeli kendaraan fosil yang harganya lebih masuk akal pun masyarakat perlu menunggu adanya insentif pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 100 persen.

  “Artinya memang kita masih butuh energi fosil,” kata Fatar.

  Produksi dipacu

  Menyadari migas masih menjadi tumpuan, pemerintah mengambil kebijakan ekspansif untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak menjadi satu juta BPH dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BCFD) di 2030. Kendati banyak pihak yang memicingkan mata ketika mendengar target ambisius itu, namun peningkatan produksi tetap harus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan.

  Tenaga Ahli Komisi Pengawas SKK Migas bidang Operasional Nanang Abdul Manaf mengatakan dalam rencana jangka panjang yang disusun SKK, setidaknya ada empat faktor yang berkontribusi signifikan untuk mencapai target tersebut.

  Pertama menjaga produksi di lapangan existing agar tidak turun signifikan. Berdasarkan data SKK Migas hingga semester I produksi minyak siap jual (lifting) tercatat mencapai 666,7 barel per hari (bph). Diakui Nanang angka ini memang mulai turun (decline). Maka dari itu kegiatan seperti work over, work service, work intervention dan reaktivasi terus digalakkan.

  “Memang tidak signifikan mendongkrak produksi tapi mempertahankan decline,” ujar Nanang.

  Salah satu lapangan yang menjadi tulang punggung produksi minyak nasional selama 70 tahun yakni Blok Rokan. Berbagai upaya dilakukan untuk menahan laju penurunan setelah masa alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke Pertamina.

  PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebagai operator baru menjanjikan peningkatan produksi di blok raksasa tersebut. Saat ini produksi minyak Rokan berkontribusi sebesar 24 persen terhadap produksi nasional. Meski telah disedot selama puluhan tahun, blok tersebut dipercaya masih memiliki potensi cadangan dalam bentuk unconventional. Blok Rokan memiliki 10 ribu sumur. Namun yang beroperasi saat ini sekitar 8.000-an sumur.

  Setelah masuk di Agustus 2021, PHR akan mengebor 161 sumur di sisa waktu hingga Desember 2021. Pengeboran ini melanjutkan yang telah dilakukan CPI sebelumnya. CPI menargetkan untuk mengebor 192 sumur, namun diperkirakan 70 sumur di antaranya belum bisa diselesaikan hingga alih kelola. Oleh karenanya sisa sumur yang ada akan dilanjutkan oleh PHR.

  Kedua, melalui kegiatan pengembangan lapangan migas (undeveloped discovery). Ia mengatakan banyak proposal pengembangan (plan of development/PoD) yang telah ditandatangani. Memang diakui Nanang implementasi PoD tersebut menemui hambatan akibat pandemi. Sebab pada saat ditandatangani, harga minyak saat itu masih tinggi sekitar USD80 per barel.

  Sementara pandemi meluluhlantakkan harga minyak ke level terendah, sehingga otomatis membuat biaya pengembangan lapangan kini menjadi tidak ekonomis. Meski saat ini harga minyak kembali mengalami peningkatan dan bergairah. Namun menurut dirinya, butuh berbagai macam insentif yang telah disiapkan dan akan terus diperbaharui untuk menggairahkan perusahaan agar merealisasikan investasi PoD yang telah disetujui.

  Ketiga, dengan bantuan enhance oil recovery (EOR). Menurut beberapa riset, EOR dipercaya mampu meningkatkan produksi minyak. Keempat yakni masif menggairahkan eksplorasi. Meskipun memang perlu waktu panjang, namun tanpa eksplorasi maka jangan harap produksi akan bertambah.

  Lebih jauh, Nanang mengatakan ibarat menabung di bank dan menarik via ATM, apabila tidak ada uang yang disetorkan, maka ATM tidak akan mampu mengeluarkan uang. Demikian juga dengan migas, tanpa adanya eksplorasi maka tidak akan bisa menemukan cadangan baru dan meningkatkan produksi.

  “Bagaimana kita akan meningkatkan produksi kalau kita enggak pernah eksplorasi,” jelas Nanang.

  Potensi untuk eksplorasi di Tanah Air masih sangat terbuka lebar. Sebab dari 128 cekungan migas, baru 54 yang dieksplorasi dan 18 di antaranya telah berproduksi. Namun masih ada 74 cekungan yang belum tersentuh dengan potensi cadangan minyak mencapai 7,5 miliar barel.

Sumber :Medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only