Beda Aturan Pajak AS Dan Indonesia

Proses pengenaan pajak terhadap aset kripto kini mulai digalakkan di beberapa negara seiring meningkatnya transaksi dan penggunaan komoditas tersebut. 

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mewajibkan transaksi kripto lebih dari US$10.000 dilaporkan ke otoritas pajak AS atau Internal Revenue Service (IRS).

Langkah tersebut menyusul kebijakan China yang lebih dulu melakukan pengetatan terhadap transaksi Bitcoin dan aset kripto lainnya. Untuk menghindari penggelapan pajak, maka Biden membuat proposal mengenai transaksi mata uang digital tersebut.

Namun, proposal atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Senat AS untuk meningkatkan pengawasan IRS atas transaksi kripto membuat industri dan investor mempertanyakan kelayakan rencana dan janjinya untuk menghasilkan US$28 miliar dalam pendapat-an pajak.

Seperti dilansir Bloomberg, Jumat (30/7), bursa kripto, investor, dan para penasihat keuangan dibuat lengah ketika proposal infrastruktur Senat AS dirilis. 

Sebab, proposal tersebut turut mengatur persyaratan bagi pialang dan investor kripto untuk melaporkan transaksi mereka ke regulator, yakni IRS.

Alasan penyertaan ketentuan perpajakan itu pada menit-menit terakhir dalam proposal tersebut adalah untuk membantu pemerintah mengumpulkan sejumlah uang guna membantu mendanai investasi US$550 miliar untuk proyek nasional di sektor transportasi dan fasilitas publik.

Di proposal tersebut terdapat ketentuan yang memperbarui aturan terkait kewajiban pialang untuk melaporkan transaksi dan investasi di kripto dengan nilai lebih dari US$10.000. 

Hal itu disebut sebagai hasil kompromi antara Gedung Putih dan Senator Rob Portman, seorang negosiator Partai Republik. Sekadar catat-an, Gedung Putih juga telah mengusulkan ide serupa dalam beberapa bulan terakhir.

Adapun, di berbagai negara, aset kripto telah berkembang jauh lebih cepat daripada regu-lasi yang ada dari pemerintah. Hal itu memunculkan beragam kontroversi di berbagai belahan dunia.

Sejumlah pengamat menilai rencana perpajakan tersebut sejatinya digunakan untuk membantu pemerintah mengendalikan ledakan transaksi di aset kripto, baik secara jumlah maupun nilai.

Lonjakan yang tak terkendali di transaksi dan investasi aset kripto tersebut dikhawatirkan menjadi celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab, untuk melakukan penghindaran pengawasan yang selama ini diberlakukan dalam sistem keuangan tradisional. 

Komisaris IRS Chuck Rettig mengatakan penghindaran pajak dari mata uang virtual menjadi kontributor utama kesenjangan pajak yang meningkat. Hal itu terlihat dari perbedaan antara nilai yang terutang dan nilai yang dilaporkan oleh agensi. 

Penggunaan kripto juga dikaitkan dengan aktivitas ilegal, termasuk perdagangan narkoba dan pencucian uang.

Namun, rencana Pemerintah AS tersebut menuai respons negatif dari para pemain di sektor aset kripto. 

“Alih-alih terburu-buru melalui ketentuan yang belum teruji dengan konsekuensi besar yang tidak diinginkan, kami mendorong Kongres AS untuk bekerja sama dengan industri untuk menemukan bahasa yang sesuai bagi semua pemangku kepentingan,” kata Ketua Asosiasi Blockchain Kristin Smith seperti dilansir Bloomberg, Jumat (30/7).

Di samping itu, investor telah frustrasi selama bertahun-tahun dengan kurangnya informasi mengenai aturan dari Pemerintah AS, tentang bagaimana cara melaporkan kepemilikan aset mereka untuk tujuan pajak. 

Alih-alih lebih jelas tentang cara mengikuti aturan, para investor harus direpotkan oleh beragam proses audit dan penegakan hukum.

Para pelaku industri aset kripto khawatir kebijakan Pemerintah AS justru akan mendorong sebagian industri berpindah ke luar negeri.

PAJAK INDONESIA

Sementara itu, di Indonesia, pemerintah disebut-sebut tengah menggodok pengenaan pajak atas aset kripto. Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan pihaknya bersama dengan instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah membahas rencana pajak penghasilan (PPh) untuk investasi aset kripto di Indonesia.

Indrasari memaparkan saat ini, pajak yang dikenakan atas aset kripto masih berupa PPh badan yang ditanggung oleh pedagang aset kripto. Ke depannya, pajak yang akan dikenakan untuk aset kripto adalah PPh fi nal.

“Rencananya akan PPh final seperti yang berlaku pada bursa efek. Untuk besarannya juga masih kami kaji,” jelasnya dalam sebuah diskusi daring, beberapa waktu lalu. 

Dari kacamata pelaku usaha, COO TokoCrypto Teguh Kurniawan Harmanda menilai penerapan pajak atau penambahan penghasilan kepada negara akan memberikan dampak baik terhadap industri. 

“Karena industri [aset kripto] akan memiliki legitimasi dan hal tersebut dianggap industri ini sudah diakui secara sah. Jadi lebih lengkap,” ujarnya.

Kendati begitu, Harmanda mengingatkan ada beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum memutuskan menerapkan pajak untuk aset kripto. 

Dia mengkhawatirkan penerapan pajak akan menghambat laju pertumbuhan industri kripto itu sendiri. Untuk itu, salah satu kunci yang perlu diperhatikan adalah pemahaman bahwa industri kripto adalah industri yang tidak memiliki batasan yang kaku. 

“Ibaratnya anak ABG yang dibuat kaku, nanti bisa bahaya. Kami juga tidak menginginkan penerapan pajak membuat nasabah atau traderdi Indonesia malah lari ke luar [negeri]. 

Memperlambat itu bisa jadi menyebabkan nasabahnya pada kabur dan operational exchange terganggu,” ujarnya.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Selasa 3 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only