Pajak Karbon Sebaiknya Dipungut dari Transaksi Perdagangan Karbon

Jakarta. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan pajak karbon sebaiknya dipungut dari  transaksi dari perdagangan karbon, karena baik penjual maupun pembeli dalam perdagangan karbon memperoleh manfaat dari transaksi ini.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengatakan, penerapan pajak karbon berdasarkan transaksi dari perdagangan karbon perlu penguatan melalui percepatan infrastruktur kelembagaan yang saat ini sedang digarap, seperti proses pendaftaran di Sistem Registrasi Nasional, pengukuran, pelaporan dan verifikasi, penerbitan sertifikat penurunan emisi, serta kelembagaan perdagangan karbon domestik.

“Perlu penetapan level emisi di setiap sektor bahkan di setiap entitas usaha yang nantinya akan digunakan sebagai base line untuk menghitung pengurangan emisi karena itu pengenaan pajak karbon dalam RUU KUP perlu mempertimbangkan mekanisme perhitungan emisi setiap sektor usaha dan kesiapan infrastruktur kelembagaan,”ujar dia kepada Investor Daily, di Jakarta, Selasa (3/8).

Pemerintah telah mengusulkan pengenaan pajak karbon melalui revisi Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Direncanakan pengenaan pajak karbon ini akan dilakukan untuk emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup, dengan tarif paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Pengenaan pajak karbon ini menjadi perhatian pelaku usaha, pasalnya landasan pengenaan pajak karbon ini sebaiknya berdasarkan pada semangat untuk memotivasi tumbuhnya industri. Indroyono Soesilo berharap tujuan penerapan pajak karbon untuk mendorong pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) dan untuk memberikan dukungan pendanaan dalam rangka pengendalian perubahan iklim.

Untuk memenuhi komitmen Paris Agreement, pemerintah telah menetapkan lima sektor penting dalam NDC yaitu sektor energi, waste, industrial process and production use, pertanian dan kehutanan.

Sektor ini ditargetkan menurunkan emisi sebesar 29% setara dengan pengurangan emisi 834 juta ton CO2e dengan kemampuan sendiri dan sampai 41% setara dengan 1.081 juta ton CO2e dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Dari total target tersebut, sektor kehutanan dituntut menyumbang penurunan emisi sebesar 497 juta ton CO2e dengan upaya sendiri dan sebesar 650 juta ton CO2e dengan bantuan internasional.

Untuk pencapaian target NDC, kegiatan usaha di lima sektor tersebut dituntut berinvestasi dalam melakukan aksi mitigasi baik melalui perbaikan teknologi maupun penerapan best management practices.

Dalam sudut pandang ini, pemerintah perlu menetapkan batas ambang emisi yang harus dicapai oleh masing-masing sektor tersebut dibandingkan dengan business as usual atau masing masing sektor tersebut menyatakan pengurangan emisi dari hasil mitigasi sektor lain. Bagi sektor usaha yang mencapai target, pemerintah selayaknya memberikan penghargaan antara lain berupan insentif fiskal maupun nonfiskal dan bagi yang belum mampu dapat diberikan melalui penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) dalam bentuk perdagangan emisi atau offset karbon.

Perdagangan emisi atau offset karbon didorong agar kegiatan penurunan emisi dilakukan secara sinergi antarsektor. Penghasil emisi yang tidak mencapai target pengurangan emisi dapat melakukan perdagangan emisi atau offset karbon di lingkup domestik dengan sektor kehutanan yang menghasilkan kelebihan certified emission reduction antara lain melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan, penerapan pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan dari kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan. Melaui mekanisme ini dapat mengurangi beban sektor usaha strategis dalam menurunkan emisinya.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only