Berdasarkan laporan survei World Economic Forum (WEF) 2021, risiko terbesar kemungkinan terjadi terhadap dunia adalah cuaca ekstrem. Kondisi tersebut tidak berubah sejak laporan WEF pada 2017.
Hasil survei tersebut tidaklah meleset. Di pertengahan 2021 terdapat tiga kejadian cuaca ekstrem di tiga benua yang jarang terjadi atau belum pernah terjadi sebelumnya. Ketiga kejadian tersebut adalah gelombang hawa panas di Amerika Utara, dan banjir besar di Eropa Barat dan China.
Walau mengaitkan perubahan iklim dengan cuaca ekstrem merupakan hal yang rumit karena banyaknya variabel yang terlibat, namun para ilmuwan menyimpulkan bahwa perubahan iklim mendorong terjadinya peningkatan cuaca ekstrem.
Sudah menjadi kesimpulan bahwa salah satu yang mendorong terjadinya perubahan iklim adalah gas rumah kaca (GRK) yang terakumulasi di atmosfir. Salah satu gas rumah kaca yang paling banyak di atmosfir dan berpengaruh besar terhadap terjadinya perubahan iklim adalah gas CO2 (karbon dioksida atau yang disingkat dengan karbon).
Pelepasan karbon ke atmosfir (emisi karbon) akan terjadi saat penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak dan gas bumi) sebagai sumber energi. Karbon memiliki sifat mampu menyerap panas yang terkandung dalam sinar matahari. Semakin banyak akumulasi karbon dalam lapisan atmosfir maka semakin besar kemampuannya menyerap panas yang pada akhirnya memicu pemanasan global.
Gas lain, seperti metana, juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, namun jumlah gas tersebut tidak sebanyak karbon. Dengan mengetahui bahwa karbon merupakan gas yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, maka sangat penting bagi pemerintah untuk mengontrol jumlah emisi karbon.
Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan Paris Agreement 2015 memiliki kewajiban untuk mengontrol emisi karbon di wilayahnya. Dua kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengontrol tingkat emisi adalah melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan emisi karbon.
Kebijakan ini bukanlah kebijakan yang populer karena penerapan keduanya berpotensi menambah beban industri dan masyarakat. Namun, kebijakan ini perlu diambil karena selama ini pihak yang melakukan emisi karbon dapat membuang limbah karbon ke atmosfir tanpa adanya konsekuensi apapun.
Masyarakat luas pun harus menanggung konsekuensi dari penumpukan limbah karbon di atmosfir. Yakni berupa peningkatan biaya sosial seperti biaya kesehatan masyarakat dan biaya menjaga kelestarian lingkungan.
Pajak dan bisnis karbon
Masalah yang terjadi selama ini adalah pihak yang menghasilkan emisi karbon tidak pernah membayar atas tindakannya melepaskan karbon ke atmosfir. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak ada dorongan bagi pihak yang melakukan emisi karbon untuk menurunkan tingkat emisi karbon. Kondisi inilah yang disebut oleh ekonom sebagai eksternalitas.
Penerapan dua kebijakan berupa pajak karbon dan perdagangan emisi karbon dapat menghentikan kondisi eksternalitas dan membuat pihak yang melakukan emisi karbon untuk membayar atas emisi karbon yang dihasilkannya.
Kebijakan pertama adalah pajak karbon. Untuk pihak yang menghasilkan emisi karbon dari aktivitasnya akan dikenakan pajak. Semakin banyak emisi karbon yang dihasilkan, maka semakin besar pajak yang harus di bayar. Tarif pajak karbon yang berlaku akan berfungsi sebagai harga yang harus dibayar atas emisi karbon.
Saat menerapkan pajak karbon pemerintah akan memperoleh pendapatan dari pajak itu. Pendapatan pajak ini untuk membiayai riset pengembangan teknologi energi terbarukan, membantu masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim dan membiayai pelestarian lingkungan.
Guna mencapai target emisi karbon dan menciptakan kondisi netral karbon pada tahun tertentu, pemerintah dapat menaikkan tarif pajak karbon secara bertahap. Kenaikan ini akan membuat semakin mahalnya melakukan emisi karbon sehingga akan mendorong industri untuk beralih dari penggunaan teknologi bahan bakar fosil menuju teknologi bahan bakar terbarukan.
Kebijakan kedua adalah perdagangan emisi karbon. Yakni hak atas emisi karbon untuk diperjualbelikan berdasarkan harga yang berlaku.
Penerapan kebijakan ini mengharuskan setiap pihak yang akan melakukan emisi karbon dalam jumlah tertentu harus memiliki hak emisi karbon. Pihak yang akan melakukan emisi karbon namun tidak memiliki hak, maka pihak tersebut dapat membeli dari pihak lain yang tidak menggunakan haknya. Apabila suatu pihak akan melakukan 10 ton karbon emisi karbon dan setiap hak bernilai 2 ton karbon, maka pihak tersebut memerlukan 5 unit hak emisi karbon.
Berdasarkan protokol Kyoto, hak emisi karbon awalnya merupakan milik pemerintah. Pemerintah bukanlah pihak yang melakukan emisi karbon, namun industri lah yang melakukan emisi karbon sehingga pemerintah akan mendistribusikan hak emisi karbon yang dimilikinya kepada industri.
Distribusi emisi karbon kepada industri dapat dilakukan oleh pemerintah melalui skema lelang atau skema gratis. Jika skema lelang yang diterapkan maka setiap pihak yang memerlukan hak emisi karbon harus membeli dari pemerintah. Pendapatan yang diperoleh dari hasil lelang peruntukannya sama seperti hasil yang diperoleh dari pajak karbon.
Setelah terjadi distribusi dari pemerintah kepada industri, pihak yang memiliki hak emisi karbon namun tidak menggunakannya maka ia dapat menjual haknya kepada pihak lain yang memerlukan hak. Dari transaksi jual beli hak emisi karbon akan terbentuk pasar emisi karbon yang harganya akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran.
Pada akhir periode tertentu setiap pihak yang melakukan emisi karbon akan melaporkan jumlah emisi karbon kepada pemerintah dan hak emisi karbonnya akan hangus. Jika berdasarkan laporan akhir periode ternyata jumlah emisi karbon lebih tinggi dari hak emisi yang dimilikinya, pemerintah dapat mengenakan denda. Guna menekan emisi karbon dan mencapai target netral karbon, maka pemerintah setiap tahun akan menurunkan jumlah hak emisi karbon yang akan didistribusikan kepada industri.
Penerapan pajak karbon maupun perdagangan emisi karbon dapat memastikan pencapaian target dalam Paris Agreement dan dapat menghentikan kondisi eksternalitas dari emisi karbon yang selama ini terjadi. Penerapan satu atau kedua kebijakan tersebut perlu segera diambil karena sifat gas rumah kaca dapat bertahan sampai 100 tahun.
Artinya, cuaca ekstrem yang terjadi saat ini merupakan dampak dari emisi karbon 100 tahun lalu hingga saat ini. Hal ini juga berarti hasil yang akan dinikmati dari penerapan kebijakan pajak karbon atau perdagangan emisi karbon akan terasa sekitar 100 tahun kemudian.
Sumber: Harian Kontan, Jumat 06 Agustus 2021 hal 15
Leave a Reply