UU No. 2/2020 Tak Lagi Relevan

Bisnis, JAKARTA – Undang-Undang No. 2/2020 yang mengatur tentang pemajakan ekonomi digital tidak lagi relevan setelah komunitas global yang difasilitasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development menyepakati perluasan cakupan pajak dalam proposal Pillar 1: Unified Approach. 

Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan penyesuaian regulasi terkait dengan pungutan pajak atas ekonomi digital untuk mengakomodasi konsensus global tersebut.

Sekadar informasi, UU No. 2/2020 mengatur tentang pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), baik dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), hingga Pajak Transaksi Elektronik (PTE).

Substansi tersebut disusun untuk mengantisipasi ketidakpastian konsensus pajak digital global yang digagas oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Sementara itu, arah proposal Pilar 1 OECD meluas pascapertemuan negara-negara G7 pada Juni lalu. 

Sebelumnya, Pilar 1 hanya terbatas pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB).

Namun saat ini, cakupan proposal tersebut lebih luas yakni dengan mengarah kepada seluruh korporasi multinasional yang memenuhi ambang batas atau threshold peredaran bruto global senilai 20 miliar euro dan profitabilitas di atas 10%.

Menanggapi dinamika konsensus ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menjelaskan bahwa Pilar 1 memberikan keuntungan yang dapat dicapai dari kesepakatan global, yakni mencakup perluasan basis pajak pemajakan digital.

Artinya, korporasi multinasional dengan jumlah omzet dan tingkat profi tabilitas tertentu harus membayar pajak atas keuntungan nonrutin yang diraih dari negara atau yurisdiksi pasar.

Namun sejauh ini pemerintah masih belum merumuskan penyesuaian regulasi untuk merespons perubahan substansi dan konsensus atas proposal Pilar 1 OECD tersebut.

Neil hanya mengatakan bahwa pemerintah masih menunggu penandatanganan dari konsensus tersebut sebelum menentukan langkah ke depan.

“Pilar 1 akan diimplementasikan melalui penandatanganan persetujuan multilateral yang akan dibuka pada 2022, dan akan efektif berlaku pada 2023,” kata Neil kepada Bisnis, awal pekan ini.

Sebenarnya, pemerintah bisa segera merespons konsensus ter-sebut, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat untuk mengamankan penerimaan negara.

Pasalnya, dengan kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasional berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat, berdasarkan threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Tanah Air.

Sebelum adanya kesepakatan Pilar 1, Indonesia dapat memajaki korporasi multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT), sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki.

Sejalan dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait dengan BUT tersebut. Sementara itu, sejauh ini otoritas pajak masih belum mengalkulasi potensi penerimaan yang bisa digali dari proposal Pilar 1 tersebut.

“Atas rencana implementasi Pilar 1, Ditjen Pajak sedang melakukan analisis estimasi jumlah penerimaan pajak yang dapat diperoleh dari penerapan kesepakatan multilateral tersebut,” papar Neil.

Di sisi lain, implementasi pemajakan atas ekonomi digital yang termuat di dalam UU No. 2/2020 hingga saat ini masih belum maksimal. Tercatat, pemerintah hanya berhasil mengimplementasikan PPN atas PMSE. 

Adapun pelaksanaan PPh PMSE dan PTE masih terkendala, karena belum adanya aturan teknis.

Berdasarkan data Ditjen Pa-jak, pungutan atas PPN PMSE juga masih cukup terbatas, di mana hingga Juli 2021 realisasi penerimaan PPN PMSE tercatat hanya Rp2,2 triliun yang berasal dari 81 badan usaha berstatus wajib pungut.

Menanggapi perkembangan baru tersebut, pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono berpendapat, kesepakatan G7 terkait dengan pajak digital itu akan berdampak pada penerimaan sejalan dengan kesepakatan Inclusive Framework OECD.

Terlepas dari perlunya pemerintah melakukan penyesuaian regulasi, Prianto menilai bahwa penerapan pajak digital nantinya harus memberikan kemudahan administrasi bagi wajib pajak yang berstatus sebagai wajib pungut.

“Dari sisi pihak yang harus menanggung beban pajak, mereka juga harus merasakan perlakuan yang adil atau fairness dan equal treatment,” katanya.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Kamis 12 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only