Dag Dig Dug Menanti Beleid Tarif Cukai 2022

Gappri menyurati Presiden Joko Widodo agar tarif cukai rokok tidak naik di tahun 2022

JAKARTA. Para pabrikan rokok tengah harap-harap cemas menanti beleid tarif cukai tahun 2022. Mereka berharap pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok tahun 2022 lantaran industri ini masih terpukul pandemi Covid-19. Lagi pula, industri rokok juga masih sesak nafas akibat kenaikan tarif cukai rokok sebesar 21% di tahun ini.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai rokok akan mengurangi produksi rokok. Ujung-ujungnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri rokok bakal semarak.

Oleh karena itu, Gappri mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, yang isinya permintaan agar tarif cukai rokok tahun 2022 tidak naik. Permintaan itu tertuang dalam surat resmi Gappri Nomor D.0831/P.GAPPRI/VIII/2021, pada 9 Agustus 2021.

Menurut Henry, industri rokok sedang terpuruk sejak tahun 2020 akibat tiga faktor. Pertama, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 23% di tahun 2020, dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%. “Artinya, 68% dari setiap penjualan rokok legal diberikan kepada pemerintah sebagai cukai dan pajak,” katanya, Kamis (12/8).

Kedua, daya beli masyarakat turun sepanjang tahun 2020 dan 2021 sebagai dampak pandemi Covid-19. Menurutnya, produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) legal tahun 2020 turun sekitar 17,4%.

Selain itu, hingga Mei 2021, tren penurunan produksi SKM masih terjadi di kisaran 7,5% dibandingkan tahun 2020. “Kami memprediksi penurunan produksi tahun 2021 sekitar 15%. Ini juga akan berpengaruh pada penerimaan negara,” tambahnya.

Ketiga, saat harga rokok naik, peredaran rokok ilegal meningkat pesat sehingga menggerus pangsa pasar rokok legal yang relatif mahal sebagai dampak kenaikan cukai sangat tinggi. Dari kajian industri rokok, peredaran rokok ilegal di pasar saat ini telah mencapai 15% dari produksi rokok nasional.

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio menilai, pemerintah seharusnya memberikan relaksasi tarif cukai selama proses pemulihan ekonomi hingga tahun 2022. Menurut Andry, fokus pemerintah terhadap industri hasil tembakau harus berimbang. “Jika tarif cukai rokok terus dinaikkan maka jelas akan ada PHK yang akhirnya membebankan pemerintah. Jangan melulu pertimbangannya soal penerimaan negara,” kata Andry kepada KONTAN, Selasa (10/8).

Prevalensi masih tinggi

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhammad Misbakhun juga menyarankan pemerintah melonggarkan pembayaran pajak ke pabrikan rokok. Insentif juga bersifat spesifik seperti yang diberikan kepada industri otomotif melalui diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atau diskon pajak pertambahan nilai (PPN) bagi sektor properti.

Namun, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia Risky Kusuma mengatakan harga rokok yang mahal dengan cara menaikkan tarif CHT, mutlak dilakukan agar anak-anak tidak bisa membeli rokok. Ia menilai harga rokok di Indonesia masih murah yang jadi salah satu faktor terus naiknya prevalensi perokok anak, yaitu dari 7,2% di 2013 menjadi 9,1% di 2018. Angka ini telah melewati target RPJMN 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4% pada tahun 2019.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kemkeu Askolani mengatakan, pihaknya masih melakukan pembahasan soal kebijakan tarif cukai rokok 2022. Pertimbangannya, aspek kesehatan, tenaga kerja, industri, dan penerimaan negara. “Hal tersebut harus dikaji dan dipersiapkan dulu oleh pemerintah. Berbagai aspek perlu dikaji secara mendalam, sejalan dengan kondisi aktual penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi secara berkelanjutan,” katanya.

Sumber: Harian Kontan Jumat 13 Agustus 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only