Kemerdekaan, Surplus APBN dan Peran Pajak

Kemerdekaan Indonesia memasuki usia ke-76, namun kemandirian dalam pembiayaan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) belum terwujud. Pembiayaan APBN masih diwarnai dengan utang ke pihak domestik dan asing.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2020 diperkirakan Rp 15.434 triliun. PDB tahun 2020 minus 2,07% dari 2019. Wajar mengingat pembatasan kegiatan masyarakat dan penutupan kunjungan turis asing.

Realisasi penerimaan pajak 2020 sebesar Rp 1.070 triliun atau minus Rp 128,8 triliun dari target. Angka penerimaan pajak 2020 dibanding nilai PDB sebesar Rp 15.434 triliun diperoleh rasio pajak hanya 7,07%. Rendahnya penerimaan pajak ini ditutup dengan pembiayaan (utang) atau defisit APBN. Angka defisit APBN tahun 2020 mencapai 6% PDB, melebihi angka biasa yang diperbolehkan oleh Undang-Undang (UU) Keuangan Negara sebesar 3% PDB. Kekhususan ini diizinkan karena adanya pandemi Covid-19.

Adapun defisit APBN 2020 sebesar Rp 956,3 triliun. Defisit atau utang ini digunakan untuk bantuan tunai, bantuan sembako, subsidi bunga pinjaman usaha mikro, bantuan gaji pekerja, subsidi token listrik, subsidi kuota internet, insentif tenaga kesehatan, perawatan penderita Covid-19 dan pembelian vaksin Rp 74 triliun.

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah pada Juni 2021 sebesar Rp 6.554,5 triliun. Perbandingan besar utang terharap PDB sebesar 41,3%. Utang pemerintah terdiri dari loan (pinjaman) Rp 842,7 triliun (12,86%) dan Surat Berharga Negara (SBN) berupa sukuk/obligasi sebesar Rp 5.711 triliun (87,14%). SBN dalam bentuk valuta asing sebesar Rp 1.280 triliun dan SBN dibeli oleh domestik Rp 4.430,8 triliun.

Surplus APBN

Kenaikan nilai utang tersebut digunakan untuk mendukung dampak ekonomi, sosial dan kesehatan karena pandemi Covid-19. Meski demikian, pembiayaan APBN dari utang tidak bisa digunakan terus menerus. APBN mesti bebas dari jeratan utang, karena tingginya utang akan menekan rating atau performa SBN.

Angka defisit APBN 2021 dijaga agar tidak membengkak melebihi 3% PDB. Defisit yang membengkak akan mengurangi kredibilitas atau rating atas surat utang Indonesia. Jika rating surat utang turun, investor enggan membeli surat utang, khawatir menjadi tidak bernilai jika surat utang dijual. Pada akhirnya, pemerintah terpaksa harus membayar bunga tinggi untuk sukuk dan obligasi negara karena rating surat utang rendah.

Keberhasilan pengumpulan pajak menjadi indikator bahwa Indonesia mampu melunasi pokok dan cicilan utang. Dampak pandemi menjadi pelajaran pentingnya surplus APBN. Anggaran yang surplus sebagai cadangan nasional untuk dana darurat.

APBN 2021 menetapkan target pajak Rp 1.229 triliun. Realisasi pajak sampai Juni 2021 sebesar Rp 557,8 triliun atau 45,4% dari target. Realisasi penerimaan pajak semester I-2021 sudah tumbuh 4,9% dari pajak semester I-2020. Realisasi sisa 54,6% target pajak tergantung partispasi aktif masyarakat.

Kondisi pandemi, menyebabkan kalangan bisnis meminta pemerintah mensubsidi gaji pekerja, bantuan tunai dan relaksasi pajak. Padahal, banyak wajib pajak yang lalai dan menghindari bayar pajak saat kondisi normal sebelum pandemi. Tidak hanya lalai, banyak wajib pajak yang menggugat surat ketetapan pajak ke ranah hukum di pengadilan hingga kasasi ke Mahkamah Agung.

Ditjen Pajak menjadi tergugat dalam 14.660 perkara selama 2020. Putusan hakim pengadilan yang mengabulkan seluruh keberatan dan gugatan wajib pajak sebanyak 4.598 (45,4%) putusan. Sedangkan putusan yang menolak gugatan 24,8 %, dan mengabulkan sebagian 22,5 %. Sisanya berupa putusan pencabutan gugatan (1,4%), pembatalan (0,2%). Putusan yang menambah pajak dibayar adalah hanya 0,1% (15 putusan).

Bukti lain keengganan membayar pajak adalah jumlah laporan SPT Tahunan PPh Badan yang mengalami rugi secara fiskal, terus meningkat. SPT Badan yang rugi tahun 2012 (sebanyak 8% dari total SPT Tahunan Badan) sampai 2019 menjadi 11%. Wajib pajak (WP) yang rugi namun tidak minta restitusi juga terus meningkat. Periode 2017 ada 6.004 WP rugi, periode 2018 melonjak 7.110 WP, dan periode 2019 sudah tembus menjadi 9.646 WP.

Pemerintah sendiri menugaskan Ditjen Pajak untuk mengumpulkan penerimaan dalam rangka menjaga defisit APBN agar tidak melebihi angka 3% PDB. Dalam jangka panjang, Pemerintah bertujuan adanya surplus APBN sebagai tabungan nasional atau dana siaga darurat.

Realisasi pajak semester I-2021 yang mencapai 45,4 % adalah harapan bahwa ekonomi mulai berjalan. Pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07% pada semester 1 menunjukkan bahwa tidak semua sektor usaha tiarap. Ada sektor perdagangan dan kesehatan yang masih berjalan. Artinya peluang pengumpulan pajak masih ada harapan.

Untuk mewujudkan defisit APBN 3%, Ditjen Pajak dituntut untuk mengambil langkah reformasi perpajakan. Pertama, perkembangan pesat financial technology (fintech), perlu diiringi perbaikan aturan pemajakan sektor keuangan. Outstanding pinjaman fintech per Mei 2021 sebesar Rp 21,3 triliun dan pemberi pinjaman 716.693 entitas.

Sebagai institusi yang menjembatani peminjam dan pemberi pinjaman, fintech beroperasi seperti halnya bank umum. Wajar jika fintech harus memotong bunga pinjaman dari debitur ke kreditur.

Kedua, alternatif penetapan AMT (Alternative Minimum Tax) atau pajak minimum untuk wajib pajak yang rugi. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan jumlah peredaran usaha wajib pajak badan yang merugi fiskal tahun 2020 mencapai Rp 830 triliun. AMT digunakan untuk menagih kontribusi pajak dari wajib pajak yang terus menerus rugi. Tarif AMT diperkirakan 1% dari peredaran usaha, sehingga ada potensi pajak sebesar Rp 830 triliun dikali 1% atau Rp 8,3 triliun.

Ketiga, menaikkan tarif pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemerintah berencana menghapus pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas mobil dan menaikkan tarif PPN mobil dari tarif saat ini yang hanya 10%.

Keempat, menambah tarif pajak penghasilan (PPh) dari tarif 5% sampai 30% dengan menambah 1 lapisan tarif 35% untuk penghasilan kena pajak yang melebihi dari 500 juta setahun.

Kelima, memberi kesempatan luas untuk pelunasan pokok pajak dan sanksi pajak kepada tersangka tindak pidana perpajakan walaupun masuk tahap penuntutan. Hal ini sesuai prinsip ultimum remedium, dimana penerimaan pajak untuk keuangan negara lebih diutamakan daripada hukuman kurungan.

Peran mengisi kemerdekaan tidak lagi abstrak. Partisipasi aktif wajib pajak untuk membayar pajak, merupakan hal nyata dalam mengisi kemerdekaan.

Sumber: Harian Kontan Rabu 18 Agustus 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only