Sektor Air Butuh Insentif Pajak

POS-KUPANG.COM– Dalam wacana konseptual, pemerintah akan merubah arsitektur perpajakan ditengah pandemi, tampaknya mendekati kenyataan setelah Wali Kota Kupang, memutuskan rencana pengenaan pajak air bawah tanah (pajak air), pada tahun 2022.

Menurut, I Wayan Ari Wijana, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Kupang, “Persyaratannya kalau dipakai untuk kebutuhan rumah tangga maka pemerintah tidak memungut pajak, tetapi kalau dijual maka akan dikenakan pajak, nanti ada perhitungannya sendiri, volume air yang keluar dan biayanya berapa nanti dihitung.

Secara sederhana, pajak merupakan pungutan yang dikenakan pada setiap proses dan transaksi produksi barang dan jasa. Disini, pajak dapat diartikan sebagai instrumen untuk mendistorsi aktivitas ekonomi tertentu yang tidak diharapkan pemerintah.

Jika, konstitusi menyatakan air sebagai kekayaan negara, dalam praksis ekonomi menuntut adanya usaha yang dijalankan public utility. Sayangnya, definisi kategoris public utility tidak jelas, sehingga produk (dan jasa) yang didefinisikan sebagai keluaran usaha ini kabur, dalam perspektif kepentingan publiknya, bukan berdasarkan kriteria dunia korporasi.

Terkait dengan itu, ada paradoks rencana pengenaan pajak air sebagai sektor utilitas publik, pada satu sisi, masyarakat masih menghadapi masalah pandemi dan belum terpenuhinya kebutuhan air, pada sisi lain, pemerintah belum mampu menyediakan air.

Dalam perubahan kebijakan pasti menimbulkan riak pada titik tertentu. Disinilah, kebijakan pengenaan pajak air menemukan signifikansi dan urgensi untuk diuji. Apakah praktik perpajakan ini cukup kokoh untuk dijadikan titik berangkat?

Mengingat, tantangannya bukan lagi pada level ontologis yaitu “to be or not to be”, melainkan persuasi dan argumentasi yang mampu menjawab secara meyakinkan pertanyaan dan kekhawatiran berbagai pihak.

Efek penjalaran

Ekspektasi pemerintah meningkatkan penerimaan daerah melalui kebijakan pengenaan pajak air tidaklah salah, walau tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengapa?. Karena konstruksi logika yang dibangun pemerintah, dengan hanya mengklaim, berkembang dan bertambahnya pelaku usaha air bawah tanah untuk tujuan komersial.

Namun, sangat disayangkan, klaim dengan menyederhanakan isu dan permasalahan ini tidak didukung basis kajian yang komprehensif seperti segmentasi, proporsional dan efektivitas. Padahal, kebijakan apapun yang akan diambil pemerintah sehubungan dengan kepentingan rakyat, harus memahami peta dan implikasi kebijakan.

Karena, dalam situasi tertentu, dinamika usaha air bawah tanah secara ekonomi bisa jadi adalah optimal. Artinya, peningkatan permintaan atau produksi air barangkali adalah respons optimal dari para pelaku ekonomi, mengingat konteks pemerintah belum memenuhi kewajibannya atas air.

Sehingga, memaksakan penerimaan pajak air tumbuh tinggi ketika konteks ekonominya tak kompatibel justru dapat membawa dampak mahalnya harga jual air yang ditanggung masyarakat (konsumen). Secara ekonomi, harga pasti naik saat jumlah air yang dipasok operator PDAM di pasar jauh berkurang ketimbang permintaan dan sebaliknya.

Singkatnya, harga yang tidak benar akan menimbulkan distorsi. Sehingga, stabilisasi harga jual air merupakan konsep ideal yang diasumsikan berperan menjaga keseimbangan pemangku kepentingan air.

Namun, konsep ideal ini menjadi sebuah keniscayaan. Kegagalan stabilisasi harga air bersumber dari tarik ulur kepentingan diantara pihak yang menuntut profit dalam batas-batas kewajaran, dengan kelompok lain termasuk pemerintah yang tidak ingin kehilangan pendapatannya.

Kesulitan lain pada tataran operasionalnya adalah besarnya tarif pajak air. Mengadaptasi, teori Laffer (2004) dalam Irwan (2016), menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara dari pajak.

Laffer menyatakan, bahwa pada tingkat tarif sebesar nol persen, pemerintah tidak mendapatkan penerimaan yang bersumber dari pajak. Demikian pula halnya jika tarif pajak 100 persen, pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan pajak.

Teori ini menjelaskan bahwa diperlukan tarif pajak yang ideal, sehingga dapat memberikan kontribusi peningkatan penerimaan pajak. Untuk itu, dibutuhkan grand strategi perpajakan yang mengandung unsur kebaruan dan dapat mendorong perekonomian.

Karena itu, pemerintah sebaiknya sadari, pengenaan pajak air tidak bisa dianalisis secara otonom tanpa mempertimbangkan efek penjalaran terhadap sektor-sektor sosial dan ekonomi lainnya. Sebagai contoh, kebutuhan air yang berkontribusi terhadap harga makanan dan minuman diwarung. Sebab, mahalnya harga air juga akan berisiko elastis menyulut inflasi.

Lugasnya, kebijakan pengenaan pajak air tak bisa diisolasi dari sektor lainnya. Persoalan menjadi semakin tidak sesederhana ketika terjadi kompleksitas dalam sumber dan implikasi inflasi. Inflasi yang tinggi berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat.

Sehingga, perlu menciptakan suatu kebijakan ekonomi yang optimal. Dalam konteks inilah, ekonomi normatif berperan lebih besar dibandingkan dengan ekonomi positif. Dalam ekonomi positif, kita hanya berbicara mengenai apa yang seharusnya dipilih untuk dilakukan misalnya pengenaan pajak air, dalam tataran obyektif atau benar secara obyektif.

Namun, dalam tataran normatif, kita selalu berurusan dengan nilai, apa yang bisa diterima dan tidak bisa diterima secara politik oleh masyarakat. Kesulitan dalam pengambilan keputusan akan timbul manakala keputusan yang berlandaskan norma tidak sesuai atau tidak didukung oleh basis empirik-obyektif.

Kondisi sebaliknya juga mungkin terjadi. Manakala tidak ada konsistensi antara yang obyektif dan normatif. Dengan asumsi dasar inilah, jangan sampai upaya kebijakan pengenaaan pajak air menjadi tidak realistis, dan cenderung kontraproduktif.

“Sunset policy”

Kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat adalah sebuah pendekatan distingtif yang memengaruhi alokasi sumberdaya melalui mekanisme pasar atau instrumen lainnya seperti insentif atau disintensif pajak, tujuannya dapat terpenuhinya konsumsi minimal dan pelayanan publik.

Karena itu, relaksasi pajak yang kredibel dan konsisten, sesungguhnya menjadi bahu sandar perekonomian. Mengingat, insentif pajak saat ini bandulnya lebih mengarah pada fungsi regulasi dengan tujuan untuk membantu menggerakan roda perekonomian.

Karena, saat ini kondisi ekonomi memang sangat mengkhawatirkan berjalan lambat, diikuti dengan menurunya daya beli masyarakat.

Sehingga, melihat kondisi faktual, dibutuhkan solusi sunset policy seperti insentif pajak. Insentif pajak meliputi : Pertama, pengecualian dari pengenaan pajak, kedua, pengurangan dasar pengenaan pajak, ketiga, kompensasi kerugian, dan keempat, pengurangan tarif pajak.

Apapun pilhan jenis insentif pajak atas pelaku usaha air, kondisi ini tentu saja tidak ideal. Namun, ini pilihan berat yang masih lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, menerapkan atau menaikan pajak air.

Konsekuensinya, ruang gerak pemerintah untuk mendorong stimulus fiskal sudah sangat sempit. Dengan kata lain, semua pilihan tersebut menyulitkan APBD untuk bermanuver.

Meskipun begitu, apabila ada tabrakan kepentingan yang tidak bisa dihindari, pemerintah harus lebih mendahulukan kepentingan rakyat, dengan mengorbankan target pencapaian penerimaan bila memang harus terjadi. Tentu, pemerintah terpaksa harus merelaksasi defisit atau mengurangi pengeluaran pembiayaan.

Akhirnya, semoga, pemerintah sebagai regulator dan redistributor kue ekonomi, menetapkan sunset policy insentif pajak air, sehingga, dapat memitigasi gelombang keterkejutan pelaku ekonomi dan konsumen. Ini sesuai resep Keynesian economics, disaat sulit, kebijakan semestinya bersifat lean against the wind.

Sumber: tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only