Reformasi Perpajakan di RUU KUP Mulai Dikebut

JAKARTA. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali ngebut, membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sejak awal pekan ini, DPR terus mengundang banyak pihak untuk minta masukan atas beleid yang menjadi rezim baru perpajakan.

Apalagi, beleid ini untuk mempertebal penerimaan pajak, antara lain dengan rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% yang berlaku saat ini menjadi 12%. Bahkan, barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan, akan kena pajak.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan, kebijakan ini bisa menyebabkan kenaikan harga barang, khususnya PPN bahan pangan. “Beban ini ditanggung konsumen,” terang Tulus dalam paparan tertulis kepada DPR, Kamis (26/8).

Perhimpunan Bank Milik Negara (Himbara) juga termasuk pihak yang memberi masukan kepada DPR Kamis (26/8) kemarin. Para bankir bank negara ini juga khawatir dengan mengeluarkan PPN produk jasa keuangan dari pengecualian, akan menyebabkan produk perbankan lebih mahal termasuk kredit.

Ini bisa memperlambat tujuan pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan.

Namun, di sisi lain, UU KUP juga memberikan insentif dunia usaha yakni penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) menjadi 20% di tahun depan agar mendorong investasi. Hanya, beleid baru ini juga merancang lapisan baru PPh orang pribadi yang menyasar orang super kaya dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dengan tarif 35%.

Poin lain, yang juga penting di RUU KUP adalah kewenangan penyidik bakal lebih kuat. Penyidik pajak yang menangani pidana pajak berwenang melakukan penangkapan dan penyitaan.

Padahal penyidik di lembaga penegak hukum, mereka harus mendapatkan izin pengadilan saat akan menyita barang bukti. Tak hanya itu, RUU KUP ini juga memberikan kewenangan ke Menkeu untuk meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan perkara atau kasus pidana pajak dengan tujuan penerimaan negara.

Meskipun demikian, Mukhammad Misbakhun Anggota DPR yang ikut membahas RUU ini berjanji para wakil rakyat akan melihat dengan cermat dinamika efek Covid-19 pada dunia bisnis, termasuk berhati-hati dalam memperhitungkan efek RUU KUP baru ini pada makro ekonomi dan inflasi.

DPR menargetkan sudah bisa mengumpulkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) awal September 2021 dan mulai melakukan pembahasan pasal per pasal. DPR punya kesempatan tiga kali masa sidang untuk menyelesaikan RUU ini.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono berharap DPR melakukan pembahasan RUU KUP ini mendalam. .Ia menilai RUU ini dibuat dari kacamata ekonomi makro, kurang mempertimbangkan sisi mikro. Misalnya pembenahan sistem administrasi perpajakan hingga kondisi masyarakat. Saat daya beli masyarakat masih lemah, kenaikan PPN akan menyebabkan beban masyarakat makin berat jika harus ikut mendanai belanja negara.

Sumber: Harian Kontan, Jumat 27 Agustus 2021 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only