Rancangan Pajak Baru Sulit Diterapkan

JAKARTA. Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mulai bergulir. Komisi XI DPR memanggil sejumlah pihak untuk meminta masukan dalam pembahasan RUU KUP ini.

Sebagai catatan, RUU KUP akan mengatur ulang pajak penghasilan (PPh) baik insentif maupun pajak bagi perusahaan rugi, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pengenaan objek baru PPN barang dan jasa, hingga rencana pungutan pajak karbon.

Kemarin (25/8), Komisi XI DPR menggelar rapat dengar pendapat bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang menyoroti rencana pajak karbon. “Secara substansi, Kadin Indonesia mendukung rencana pemerintah seperti pajak karbon,” kata Yukki Nugrahawan, Koordinator Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, melalui pernyataan tertulis, Rabu (25/8).

Namun demikian, Kadin meminta kebijakan tersebut juga mempertimbangkan situasi pandemi. Terlebih, saat ini pemerintah berupaya memulihkan perekonomian.

Sementara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyoroti rencana pengenaan pajak untuk korporasi yang mencatat kerugian melalui skema Alternative Minimum Tax (AMT). Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Mardani H Maming menilai, AMT bisa memberikan dampak negatif bagi pengusaha muda yang membutuhkan investasi dalam jangka panjang.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, AMT justru jadi angin segar bagi dunia usaha. Khususnya, pelaku usaha yang selama ini patuh karena AMT menutup celah penghindaran pajak.

Namun, ia menyarankan kebijakan pajak harus fleksibel lantaran pandemi Covid-19 masih memberikan ketidakpastian yang tinggi. Misalnya, kenaikan tarif PPN harus menimbang kondisi ekonomi, sehingga ia menilai kenaikan tarif PPN berat jika dilaksanakan pada tahun depan.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono juga menilai kenaikan tarif PPN di tengah ketidakpastian ekonomi malah bisa menjadi bumerang lantaran karena bisa menurunkan daya beli masyarakat yang masih lesu.

Sumber: Harian Kontan Kamis 26 Agustus 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only