Pengamat sarankan pengenaan AMT hanya pada WP pemanfaatan sumber daya alam

Pemerintah saat ini tengah mengajukan penerapan alternative minimum tax (AMT) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 

Rencana tersebut tertuang dalam Pasal 31F RUU KUP yang kini tengah dibahas Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI. Dalam klausul AMT, pemerintah akan mematok pajak penghasilan (PPh) sebesar 1% atas penghasilan bruto wajib pajak yang keuangannya merugi. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyarankan pengenaan AMT hanya kepada perusahaan merugi yang telah memanfaatkan sumber daya alam. Cara ini sesuai dengan saran dari Organisation for Economic Co-operation dan Delevopment (OECD).  

Prianto bilang, meski merugi, wajib pajak berbasis penghasilan sumber daya alam layak dikenakan AMT, karena telah menikmati hasil alam Indonesia. Cara ini dinilai juga jauh lebih adil ketimbang AMT diberlakukan secara umum. 

Meski begitu, Prianto mengatakan AMT atas Wajib Pajak (WP) Badan tetap harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan peraturan perpajakan di Indonesia. 

“Karena OECD menilai WP tersebut telah memanfaatkan sumberdaya alam meski rugi, tapi pasti ada modifikasi aturannya di setiap negara. Terlebih nanti bagaimana putusan politiknya, yang penting (AMT) ini bisa mencegah adanya tax avoidance,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Senin (30/8). 

Di sisi lain, Prianto menyarankan apabila klausul AMT dalam RUU KUP diundangkan, pemerintah perlu menerbitkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur teknis objek penghasilan WP yang dikenakan AMT. 

Tujuannya, untuk menegaskan Pasal 31 RUU KUP, supaya dasar penngenaan AMT berdasarkan penghasiln bruto bisa dispesifikasi. Sebab, penghasilan bruto belum kurangi oleh biaya operasional. Sehingga, asas keadilan lebih terakomodir. 

Sebagai informasi, rencananya jika RUU KUP disahkan, pemerintah akan memberikan fasilitas pengecualian kepada beberapa WP Badan atas pengenaan AMT antara lain untuk wajib pajak yang belum berproduksi komersial. 

Kemudian, secara natural kegiatan usahanya mengalami kerugian, misalnya karena kondisi Covid-19 atau mendapatkan fasilitas PPh tertentu. Adapun Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait.

“Ini kalau mau diterapkan aturan pelaksananya harus melalui PP jangan PMK. Karena kalau PMK seperti cek kosong, terserah Menteri Keuangan, gampang tidak perlu harmonisasi, policy maker menjadi satu-satunya eksekutor. Lebih, fair kalau diterbitkan PP,” ujar Prianto.

Sumber: nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only