RUU KUP Jangan Rugikan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil!

Jakarta, CNBC Indonesia – Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional merilis pernyataan sikap merespons pembahasan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara pemerintah dan DPR RI yang masih terus bergulir. Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional memberikan sejumlah kritik, terutama yang berkaitan dengan pajak usaha mikro dan kecil (UMK). Dalam RUU KUP, pemerintah berencana untuk menerapkan pajak penghasilan minimum sebesar 1% dari peredaran bruto.

“Kami mengusulkan ketentuan ini tidak diberlakukan bagi UMK. Kami menolak ketentuan ini, sebaliknya tetap berpedoman pada substansi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dengan perubahan tidak diberlakukan batas waktu bagi UMK misalnya 3 tahun sampai 7 tahun. Artinya selama statusnya masih UMK maka substansi yang terdapat pada PP Nomor 23 Tahun 2018 tetap berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu,” tulis pernyataan Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (31/8/2021).

Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional terdiri dari sejumlah pihak antara lain Sutrisno Iwantono selaku Ketua Umum Jaringan Usahawan Independen Indonesia (JUSINDO), Ikhsan Ingratubun selaku Ketua Umum AKUMINDO, dan Komunitas UMKM Naik Kelas (Perkumpulan pemilik UMKM).

Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional meminta UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari penjualan/omzet bruto tahunan atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 e Undang-Undang Pph. Sehingga mereka sangat keberatan apabila Pasal 31 e akan dihapuskan dalam RUU KUP yang saat ini sedang dibahas.

“Kami mengusulkan besarnya penjualan omzet bruto tahunan dinaikan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 M, agar selaras dengan kriteria Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa angka Rp 4,8 miliar sudah berlangsung hampir 10 tahun sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi. Di samping itu kriteria UMK sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja – sebagaimana diperjelas dalam PP No.7/2021,” tulis Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional.

Dalam PP itu, UMK yang dimaksudkan disini adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu berupa perorangan maupun badan usaha (CV, Firma, Usaha Dagang, Perseroan Terbatas dan sejenisnya).

“Kami tetap meminta bahwa selama mereka berstatus UMK, mereka tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Tidak dibatasi oleh waktu seperti saat ini yang hanya diberikan kelonggaran selama antara 3 tahun sampai 7 tahun. Pada kenyataannya pembuatan laporan pajak itu harus terlebih dahulu dilakukan dengan membuat laporan keuangan harian. UMK tidak mampu mebayar gaji bagi tenaga yang memiliki skill di bidang keuangan,” tulis Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional.

Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional juga tidak setuju jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan. Sebab, hal itu sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha.

“Semangat UU Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, tetapi malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UKM terdemotivasi. Kita justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan,” tulis Kolaborasi Usaha Kecil dan Menengah Nasional.

Sumber: CNBC Indonesia, Selasa 31 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only