Asosiasi UMKM Tolak Rencana Pengenaan Pajak Minimum

Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menolak rencana pemerintah terkait pengenaan tarif pajak minimum. Pengenaan pajak tersebut dirasa memberatkan karena kondisi perekonomian yang belum membaik akibat pandemi Covid-19. Dia pun meminta agar pajak tersebut tidak dikenakan diberlakukan bagi usaha mikro dan kecil (UMK). 

“Kita menolak ketentuan-ketentuan yang merugikan bagi UMK. Bahkan selama ini kami meminta agar 0% saja, tapi kalau dibuat menjadi 1% kita menolak, tidak tepat kebijakan tersebut diterapkan dalam keadaan seperti ini,” kata Ikhsan dalam konferensi pers virtual, Selasa (31/8).

Seperti diketahui, pemerintah berencana memberlakukan pajak tarif minimum atau alternative minimum tax, termasuk kepada perusahaan rugi. Rencananya, pajak minimum dipatok sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto. 
Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai pemberlakuan pajak minimum perlu untuk menghindari perusahaan yang enggan bayar pajak. Pasalnya, banyak perusahaan yang mengaku merugi bertahun-tahun tetapi tetap menjalankan operasionalnya tanpa gangguan.

Jika kebijakan pajak minimum diberlakukan bagi UMK, maka dipastikan jumlah UMK yang kolaps akan lebih banyak. Ikhsan menyebut, sejak 20 juli 2020, sebanyak 30 juta UMKM mengalami kebangkrutan.  UMKM menunjukan tanda-tanda pulih pada pertengahan Desember tahun lalu. Namun , UMKM kembali terpukul seiring dengan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang saat ini sudah berubah menjadi PPKM level 1-4.

“Ini tentu tidak menguntungkan UMKM. Kunci keberhasilan UMKM adalah adanya ikllim usaha yang baik, seperti kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah yang pro terhadap UMKM,” kata dia.

Menurutnya, pelaku UMKM sebaiknya tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari penghasilan bruto atau dengan alternatif lain yakni dikenakan PPh sesuai dengan Pasal 31E Undang-undang PPh.

Dalam Pasal 31E UU PPh disebutkan wajib pajak dalam negeri beromzet sampai dengan Rp 50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum (Pasal 17) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar.

“Kami mengusulkan besarnya penjualan omzet bruto tahunan dinaikkan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar, agar selaras dengan kriteria UU No  11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata Sutrisno Iwantono, Ketua Umum Jaringan Usahawan Independen Indonesia (Jusindo).

Kenaikan threshold  dengan mempertimbangkan bahwa angka Rp 4,8 miliar sudah berlangsung hampir 10 tahun, sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonomi.

Sebagai informasi, dalam draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), WP badan yang pada satu tahun pajak memiliki PPh terutang tidak melebihi 1% dari penghasilan bruto, dikenakan PPh minimum. Pajak  dihitung dengan tarif 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.

Adapun penghasilan bruto yang dimaksud merupakan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Badan, baik dari kegiatan usaha maupun dari luar kegiatan usaha pada suatu tahun pajak sebelum dikurangi biaya-biaya terkait. Penghasilan bruto yang dimaksud juga tidak termasuk penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final dan bukan objek pajak.

Sumber: katadata.co.id, Selasa 31 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only